Diawali dengan penggambaran suasana desa pada tahun 1960-an di salah satu daerah di Jawa Tengah. Tabuh gendang dan alunan musik gamelan lain juga turut membawa penonton masuk ke dalam imajinasi kehidupan kala itu. "Sang Penari" (2011), itulah judul filmnya. Menceritakan tentang kehidupan sang penari Ronggeng di Banyumas, Jawa Tengah.
Disutradarai oleh Ifa Isfansyah, film "Sang Penari" diadaptasi dari novel trilogi berjudul "Ronggeng Dukuh Paruk" yang ditulis oleh Ahmad Tohari pada tahun 1982. Film tersebut menceritakan tentang kisah asmara seorang penari Ronggeng bernama Srintil (Prisia Nasution) dengan Rasus (Oka Antara), seorang pemuda desa yang menjadi tentara.
Pasca tragedi tempe bongkrek beracun yang terjadi di Dukuh Paruk, dusun tersebut menjadi seperti dusun yang mati. Tak ada lagi pertunjukan Tari Ronggeng. Sawah yang seharusnya bisa menghasilkan beras, justru mati dan membuat warga Dukuh Paruk terpaksa harus mengonsumsi singkong untuk bertahan hidup. Kelaparan dan kemiskinan, menghantui warga Dukuh Paruk selama 10 tahun.
Menjadi Penari, Artinya Mempertaruhkan Harga Diri
Rasus yang sangat mencintai Srintil justru merasa tidak senang dan tidak nyaman ketika melihat Srintil menjadi penari Ronggeng. Pasalnya, menjadi penari Ronggeng, artinya harus mau melayani banyak lelaki di ranjang setelah menari.
Sebelum sampai ke sana, Srintil harus menjalani ritual "bukak klambu" yang berarti menyerahkan keperawanannya pada lelaki dengan tawaran harga tertinggi. Namun, Srintil justru memberikan keperawanannya pada Rasus, sebelum akhirnya ia harus melayani dua lelaki yang menawarnya dengan harga tinggi.
"Tenang waelah, cah ayu. Ronggeng kui pancen kudu bisa karo wong lanang,"kata Nyai Kartareja sambil mengelus-elus rambut Srintil. Dalam scene tersebut, bisa dilihat bahwa Srintil sangat ketakutan untuk menjalankan tradisi bukak klambu. Ia menangis di pangkuan Nyai Kartareja. Srintil mulai ragu untuk menjadi penari Ronggeng. Namun, itu harus tetap dilakukannya untuk membayar dosa kedua orang tuanya di masa lalu.
Kekerasan dan Ketidakadilan yang Dialami Penari Ronggeng
Pada tahun 1960-an, perempuan masih menduduki kelas dua yang hanya menjadi objek pemuas nafsu lelaki. Ketidakadilan dan penindasan digambarkan baik secara tersirat maupun tersurat dalam film "Sang Penari" tersebut. Terlebih situasi politik pada zaman itu yang secara tidak langsung juga memengaruhi budaya.