Kegiatan penambangan timah di pulau Bangka yang sudah berlangsung lebih dari 1 abad di telah berdampak mengusik keberadaan masyarakat adat di pulau Bangka. Kegiatan penambangan tidak hanya berada di darat namun juga di laut.
Penambangan telah merusak daratan yang terdiri dari petbukitan, kawasan hutan, kawasan pesisir, dan daerah aliran sungai. Konsekuensi dari kegiatan penambangan adalah terjadinya kerusakan alam. Tambang timah juga telah menggaggu aktifitas masyarakat adat, terutama mata pencarian mereka.
Selain itu perkebunan kelapa sawit telah membabat ribuan hektar hutan yang merupakan mata pencarian masyarakat adat. Pemerinrah Daerah belum menghentikan izin kegiatan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan perusahaan pengembang. Tahun 2020 ini saja masih ada aksi penolakan masyarakat karena kawasan lahan hutan desa di wilayah kecamatan Mendo Barat akan dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Sudah saatnya Pemda setempat menghentikan pemberian izin perkebunan kelapa sawit guna menyelamatkan keberadaan masyarakat adat. Seperti keberadaan Orang Lum atau suku Lum di wilayah kecamatan Belinyu dan perbatasan wilayah kecamatan Riau Silip. Mereka sangat tergantung dengan hutan dan laut sebagai sumber kehidupan mereka.
Dalam bulan Maret dan April ini masyarakat adat di wilayah ini seperti dusun Pejem dan desa Mapur akan menggelar Adat Nujuh Jerami. Upacara adat yang digelar merupakan bentuk rasa syukur orang Lum setelah melakukan panen padi. Mereka menggelar acara adat itu dengan ritual diantaranya prosesi membersihkan padi hingga menjadi beras dan menanaknya menjadi nasi. Serta ritual sesuai dengan agama kepercayaan yang mereka anut.
Hak-hak orang Lum juga telah dikembalikan setelah kepercayaan mereka diakui negara dan telah masuk dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai agama, sehingga orang Lum yang selama ini menggunakan agama tertentu untuk bisa diterbitkan KTP telah kembali kepada kepercayaan yang mereka anut. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kabupaten Bangka telah menerbitkan KTP sesuai dengan agama kepercayaan orang Lum.
Saya sempat berbicang dengan tokoh adat orang Lum, Sukarman di dusun Pejem yang menceritakan tentang adat Nujuh Jerami yang digelar setiap tahun. Sebagai peladang berpindah, orang Lum saat ini berada dalam kawasan hutan tempat bercocok tanam yang semakin menyempit karena perkebunan kelapa sawit dan penambangan. Bila tidak ada lahan untuk orang Lum tidak menutup kemungkinan acara adat mereka juga akan hilang, karena tidak lagi bisa berladang padi.
Konfik masyarakat adat dengan perusahasn perkebunan kelapa sawit hingga berkonflik dengan Pemda karena telah memberi izin perkebunan kelapa sawit pernah terjadi di tahun 90 an di desa Kundi. Desa ini dulunya masuk dalam wilayah kabupaten Bangka. Setelah pemekaran masuk dalam wilayah kabupaten Bangka Barat. Tanah adat yang mereka sebut dengan tanah keramat dan pemangku adat mereka adalah dukun yang menguasai wilayah masing-masing yakni dukun darat, dukun laut dan dukun sungai.
Saya pernah ke desa Kundi ini, mengikuti acara adat Ceriak Nerang dan Naber Laut. Baca juga https://www.kompasiana.com/rustian/5bde71e4bde5753a75405ef3/adat-naber-laut-di-kundi-bangka-barat
Di sini saya mengetahui banyak bahwa adanya pemangku adat dan hukum adat. Walaupun waktu itu ada statemen pejabat di Pemda setempat bahwa di Bangka tidak ada pemangku adat dan tanah adat. Pernyataan itu terbantahkan.