Berbagai cara dilakukan partai politik (parpol) untuk meraih suara sebanyak-banyaknya untuk mengamankan posisi guna memenuhi syarat electoral threshold untuk meraih kursi diparlemen. Keterpaksaan terlihat dalam politik di Indonesia di era zaman yang trend dengan sebutan millenial, yang sejak dahulu sudah ada dengan sebutan pemilih pemula tapi tak "segila" pada Pemilu 2019 ini.
Bahkan untuk menyasar pemilih millenial, politisi muda mendirikan partai dengan para pengurus yang berusia muda seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai-partai yang sudah "tua" yakni lebih dahulu berdiri ikut-ikutan mengangkat jualannya menyasar pemilih milenial yang jumlahnya cukup besar pada Pemilu 2019. Sepertinya baru disadari seluruh parpol bahwa kaum milenial akan sangat mempengaruhi perolehan suara, maka direkrutlah politisi milenial.
Jumlah politisi millenial yang usianya dibawah 30 tahun dengan jumlah 588 orang dari 8000 orang caleg DPR, parpol menempatkan caleg dari kalangan anak muda ini untuk menarik para calon pemilih yang juga jumlahnya cukup besar yakni anak-anak muda.
Apakah calon pemilih yang merupakan anak-anak muda mempercayai mereka caleg yang baru seumur jangung sebagai politisi? Bahkan terkesan dadakan, terutama parpol tua yang selama ini dikenal sulit dimasuki anak muda. Egoisme politisi tua (senior) yang mendominasi caleg pada pemilu sebelumnya, saya meragukan keikhlasan mereka menerima caleg anak muda.
Tidak hanya anak muda yang ditawari menjadi caleg (berbeda dengan dulu jadi caleg begitu sulit, harus menjadi kader parpol lebih dahulu), namun juga parpol menyasar para pedagang keliling dengan asumsi banyak pelanggan serta tokoh masyarat yang banyak dikenal warga juga menjadi daya tarik parpol mengajak bergabung menjadi caleg.
Begitu pula ketika usai Pilkada Bupati dan Wakil Bupati Bangka tahun 2018 lalu, salah satu calon Bupati yang kalah menurut pengakuannya mendapat tawaran dari salah satu parpol untuk menjadi Caleg DPR. Jadilah ia caleg, kembali mengadu peruntungan setelah kalah di Pilkada.
Asumsi parpol tersebut, calon Bupati yang gagal itu sudah dikenal masyarakatnya walaupun kalah. Tapi bagi saya, hitung-hitungan parpol tidak untuk caleg yang baru direkrutnya itu menang, namun hanya untuk kepentingan parpol yakni mencapai electoral threshold.
Caleg yang baru durekrut parpol baik itu dari kalangan anak muda maupun tokoh-tokoh senior yang punya nama besar tidak banyak yang berada di nomor urut teratas sebagai caleg, hanya berada dibawah caleg yang merupakan kader parpol. Walaupun kader parpol itu bukan bertempat tinggal di daerah yang diwakilinya, seperti misalnya mewakili wilayah pemilihan Bangka Belitung tapi domisilinya di Jakarta.
Masyarakat daerah yang diwakilinya banyak yang tidak mengenal, sedangkan yang berada diurutan dibawahnya lebih dikenal. Harus disadari para caleg millenial dalam kondisi ini dapat terlihat dari nomor urut caleg millenial berada diurutan bawah, patut diduka anda sedang menjadi objek untuk memenuhi electoral threshold untuk kepentingan caleg kader parpol yang ada di atas anda.
Menurut saya, seorang caleg milenial harus bersikap bila merasa elektabilitas lebih tinggi untuk berada di nomor urut tertinggi bila dibandingkan dengan caleg kader parpol untuk menghindari menjadi objek, hanya sebagai pelengkap penderita.
Tapi sudah terlambat karena sudah ada nomor urut caleg, jadi sekarang tergantung caleg milenial untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya agar mengalahkan nomor urut di atas agar bisa terpilih, bila tidak suara yang diperoleh hanya untuk menambah pundi-pundi suara caleg nomor urut di atasnya.