Sungai tidak lagi berbentuk, setelah diterjang banjir karena hujan setengah hari. Dinding sungai terkikis merobohkan jembatan di atasnya tanpa hati. Kebun ditenggelamkan dalam duka petani. Setelah pohon di hulu tersakiti.
Biarkan sungai apa adanya, agar tahu bahwa alam telah luka karena serakah. Bukan karena alam marah, tapi alam pasrah tanpa penyanggah. Teriakan orang-orang di hilir yang diterjang banjir mewakili suara alam yang terluka parah.
Ketika pagi mulailah Berbenah. Perbaiki langkah yang salah. Orang-orang dihilir sirami dengan air tabah. Teriaki orang-orang di hulu tak lagi membikin ulah, agar tak terulang peristiwa air bah.
Sungai semakin menyempit, tak tertahan rasa sakit. Tak ada lagi harapan yang bisa tertahan dari atas bukit. Pohon-pohon sudah habis, hanya tersisa beberapa yang muda dengan jumlah sedikit. Bila hujan datang kembali esok hari, kampung di hilir akan tenggelam kembali.
Sungai masih lama pulih. Hutan masih lama pulih. Burung Betet, Punai sudah menjauh, mencari tempat berteduh. Hutan lama yang masih tersisa ada di tempat yang jauh. Kampung di hilir dipenuhi suara mengeluh, "kampung kita sudah runtuh."
Masih tersisa ikan, udang di sungai yang tak lagi berbentuk. Ikan, udang dari tambak yang meluap juga kehilangan bentuk. Jangan katakan, "kita telah dikutuk." Ini adalah permulaan, ketika sungai dibuat terpuruk. Setelah itu, tunggu waktu apakah pohon akan kembali dilukai? Atau mungkin kembali disakiti?
Sudahlah, luka alam semakin dalam. Tapi jangan pernah diam. Bila alam tidak disembuhkan, kampung di hilir akan kembali tenggelam.
Sungailiat, 4 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H