Lihat ke Halaman Asli

Si Saksi Hidup Sejarah Penjajahan

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413690909153741624

Mbah Arjo, itulah namanya. Sebuah nama biasa yang sering terdengar di telinga masyarakat Jawa. Mbah Arjo adalah seorang kakek dengan usia 83 tahun yang tinggal di sebuah rumah kecil sederhana bersama istrinya. Dia tinggal di sebuah dusun di Ngepok Kecamatan Semin, Gunung Kidul. Sebuah dusun kecil yang jauh dari jangkauan kota dan keramaian kota. Mbah Arjo merupakan salah seorang saksi sejarah yang masih hidup. Ia mengalami kekejaman para penjajah baik Belanda maupun Jepang. Pahitnya hidup pada jaman penjajahan ia alami saat usianya menginjak sepuluh tahun. Kekejaman para penjajah yang tidak berperikemanusiaan harus ia saksikan dan ia alami. Ia harus melihat ayahnya bekerja secara paksa di bawah tekanan para penguasa pada masa penjajahan. Paitnya kerja paksa ( Romusa) harus ia hadapi bersama orang tuanya. Ia mengatakan bahwa hidup pada jaman penjajahan sangatlah menderita. Hanya demi sehelai pakaian saja mbah Arjo harus mengorbankan satu buah kambing.

Namun dibalik itu semua, mbah Arjo tetap bersyukur. Dahulunya ia menjadi seorang pejabat penting di desa kelahirnya. Ketika usianya sudah tua, kemudian mbah Arjo dipensiunkan. Untuk mengisi waktu di saat usianya yang sudah menginjak senja ia tetap bersemangat untuk terus beerja. Ia begitu gigih dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak sedikitpun garis-garis kelelahan Nampak di wajahnya. Ia terlihat begitu senang dan tabah menjalani profesinya. Kakek tua ini kesehariannya adalah seorang petani di dusunnya. Ia memiliki lahan yang cukup luas untuk digarap agar bisa bertahan hidup. Ia mengerjakan lahannya sendirian tanpa meminta bantuan orang lain. Walau demikian istrinya membantu degan penuh cinta.

Mbah Arjo bukan hanya menjadi seorang petani saja. Musim yang tidak menentu dan kurangnya tadah air hujan di gunung Kidul, tanah kelahirannya membuatnya harus memeras otak lagi untuk mendapatkan uang agar tetap bisa bertahan hidup. Menurut Mbah Arjo, kalau hanya mengandalkan dari hasil bertani saja ia tidak akan bisa bertahan hidup. Karena menurut pengakuannya jika tidak terjadi hujan atau dalam arti musim kemarau yang berkepanjangan lebih dominan terjadi maka sawahnya akan benar-benar gagal panen. Tak sedikitpun hasil panen yang bisa ia peroleh.

Untuk itu Mbah Arjo mencari alternatif pekerjaan lain. Dengan memanfaatkan bambu yang tumbuh bebas di sekitar rumahnya, Mbah Arjo memulai usahanya. Ia mengolah sebuah bambu yang bentuknya hanyalah sebatang kayu lurus tinggi menjulang dengan sekat-sekat membentuk beberapa ruas menjadi sebuah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi. Mbah Arjo mengolahnya menjadi seruling, etek-etek ( mainan tradisional Jawa yang kalau dimainkan dengan di putar ke kanan dan kiri akan menghasilkan suara ), sempritan (peluit), dan juga gasingan.

Mbah Arjo menjajakan hasil kerajinanya tidak di rumahnya. Ia mengatakan kalau hanya dijual di rumah tidak akan laku dan hanya akan mendapatkan keuntungan yang sedikit dan tidak bisa digunakan untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari. Setiap hari saat hari masih berkabut, Mbah Arjo sudah menuju halte di daerahnya menunggu bus yang akan mengantarnya ke kota Yogya. Tepat pukul 06.00 WIB Mbah Arjo sudah berada di halte Bus di daerah Semin. Sekitar pukul 10.00 WIB Mbah Arjo sudah mencapai kota yang tak pernah tidur, yaitu kota Yogya. Tepatnya di daerah wisata Malioboro.

Dengan dua buah kotak kayu kecil yang dihubungkan dengan bambu, mbah Arjo membawa dagangannya. Ia memanggulnya kesana kemari mencari tempat yang menurutnya ramai untuk menjajakan dagangannya. Berbagai sudut di Malioboro ia susuri. Ia berjualan secara berpindah-pindah karena terkadang ia harus menghadapi razia yang dilakukan oleh Satpol PP. Jajanannya ia hargai mulai dari yang paling murah senilai tiga ribu rupiah dan yang paling mahal senilai lima belas ribu rupiah. Setiap harinya mbah Arjo bisa memperoleh penghasilan sebesar seratus ribu rupiah. Meskipun penghasilannya lumayan banyak, namun ini bukan pekerjaan yang dijadikan pekerjaan utama oleh mbah Arjo. Ia lebih memilih bertani di rumah. Dan baru berjualan ketika musim di Gunung Kidul mengalami paceklik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline