Lihat ke Halaman Asli

Rustan Ibnu Abbas

Penulis, Trainer

Belajar dari Kematian Paus di Wakatobi, Laut Bukan Tempat Pembuangan Sampah

Diperbarui: 22 November 2018   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paus Sperma (inhabitat.com)

Kematian  Paus Sperma  (Physeter macrocephalus) yang ditemukan mati Desa Kapota Kec. Wangi-wangi Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara menyisakan tanda tanya perihal kematiannya. Koordinator Komunikasi Marine dan Fisehries World Wildlife Fund (WWF) Indonesia Dwi Aryo menjelaskan sampah diduga kuat jadi pelaku utama kematian paus. 

Karena di dalam perutnya ditemukan sampah gelas plastik 750 gram (115 buah), plastik keras 140 gram (19 buah), botol plastik 150 gram (4 buah), kantong plastik 260 gram (25 buah), serpihan kayu 740 gram (6 potong), sandal jepit 270 gram (2 buah), karung nilon 200 gram (1 potong), tali rafia 3.260 gram (lebih dari 1000 potong).

Kebiasaan membuang sampah disembarang tempat masih menjadi tantangan terbesar bagi kita. Sebab mindset sebagian besar masyarakat masih suka membuag sesukanya, termasuk sebagian masih suka membuang sampah di lautan. Pengalaman saya sering naik kapal laut bisa melihat langsung bagaimana penumpang kapal dengan seenaknya membuang sampah plastik pembungkus makanan ke laut.

Kenapa saya sebut sebagai tantangan terbesar. Jangankan lautan atau jalanan ditempat umum saja yang ada peringatan "dilarang membuang sampah" masih banyak yang membuang sampahnya tanpa peduli dengan papan peringatan. Pola ini sudah terbentuk sejak kecil  dan banyak dicontohkan. Maka jalanan sering menjadi  tempat buang sampah apalagi lautan.

Maka tak heran menurut penelitian ilmuwan yang dirilis di jurnal Science, Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara penyumbang sampah laut terbesar di dunia? Data KLHK menyebutkan, kurang lebih 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah itu, hampir 95 persen menjadi sampah.  

Pantas  jika ekosistem di lau menjadi rusak. Masih ingat dengan Beberapa waktu lalu  warganet kembali diingatkan pada masalah sampah plastik melalui video wisatawan Inggris yang menyelam di antara lautan sampah di Nusa Penida, Bali. Aneka sampah plastik mengapung di sekitar penyelam ditambah lagi, tumpukan sampah yang terhampar di sepanjang pantai di Bali.

Apalagi sampah yang sudah dibuang kelaut untuk membersihkannya sangat susah. Sampah platik tidak bisa diuraikan ataupun bisa diuraikan butuh waktu yang sangat lama. Sampah platik yang dimakan ikan menjadi penyakit bila ikannya dikonsumsi oleh manusia.

Maka untuk menjaga ekosistem lautan, semuanya dimulai dari diri sendiri agar berkomitmen untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat. Termasuk mengajak keluarga dan masyarakat agar tidak membuang sampah disembarang tempat. 

Dukungan dari pemerintah juga sangat berperan berupa edukasi dan sosialisasi bahanya membuang sampah sembarang tempat. Termasuk tokoh agama punya peranan penting untuk mengingatkan agar tidak membuang sampahnya sebanrang tempat.

Senjata terakhir adalah penerapan hukum yang tegas kepada pihak-pihak yang membuang sampahnya disembarang tempat termasuk membuang sampah dilautan. Kesadaran ini akan menjadikan Indonesia yang memiliki lautan yang luas bisa bersih dari sampah termasuk limbah industri. Bagi mereka yang ditemukan membuang sampah hukumlah agar member efek jera bagi mereka yang ingin melakukan hal yang sama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline