Lihat ke Halaman Asli

Rustan Ibnu Abbas

Penulis, Trainer

Status di Media Sosial Sering Tak Sesuai dengan Kehidupan Nyata

Diperbarui: 22 November 2018   10:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.huffingtonpost.com

Masih ingat dengan seorang pramugari asal Thailand, hanya karena ingin meningkatkan jumlah followernya di Instagram rela melakukan kebohongan dengan memanipulasi beberapa foto yang dieditnya agar terlihat nyata atau kasus Dwi Hartanto yang sempat menghebokan Indonesia tahun lalu.

Ia yang digelari "The Next Habibie" yang mengatakan Dwi jebolan Tokyo Institute Technology Jepang yang merancang wahana peluncur satelit untuk Kementerian Pertahanan Belanda dan mengerjakan proyek strategis Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS),  pernah menyabet juara di lomba riset antar badan antariksa di Jerman dan  pernah diajak bertemu oleh mantan Presiden BJ Habibie. Semuanya  bohong. Masih banyak lagi contoh-contoh dalam skala kecil yang ternyata apa yang disampaikan di media sosial tidak sama dengan kehidupan nyata.

Kadang kita "dipaksa" oleh media sosial untuk percaya dengan apa yang kita lihat dan apa yang kita baca. Kebohongan bermula dari status menceritakan dirinya atau keluarganya mendapatkan prestasi, apresiasi atau gambaran kebahagiaan yang terlihat lewat status yang dibuatnya. 

Terlihat wajah-wajah ceria nan bahagia bersama keluarga atau teman, memakai pakaian mewah, perhiasan  yang mahal, barang elektronik keluaran paling baru, makan di restoran mewah, sedang belanja di tempat perbelanjaan bonafit, lagi keliling dunia dengan pesawat kelas Semuanya ditujukan agar terlihat wow, hebat, luar biasa. Berdasarkan hasil survey ternyata ada sekita 75 persen orang biasa menilai dari apa yang dipostingnya.

Kenapa seseorang rela berbohong di media sosial ? Ternyata menurut Psikolog Jo Hemmings seseorang rela mengupload status bohong di media sosial dikarenakan faktor gengsi yang berlebihan. Sifat dasar manusia yang ingin pamer dan terlihat memiliki kelebihan seperti lebih cantik, lebih kaya, lebih dermawan, sehingga mereka melakukan apa saja agar sesuai dengan gengsinya.

Perkembangan teknologi sekarang juga mendukung agar gengsi berlebihan ini bisa disalurkan melalui upload gambar-gambar yang mereka impikan. Perilaku konsumtif dengan gaya hidup dalam sistem kapitalis menyebabkan seseorang seolah berlomba-lomba ingin terlihat lebih disbanding orang lain.

Dunia media sosial  merupakan gambaran kecil dari kehidupan manusia. Satu kali jepretan atau satus di media sosial tidak bisa menggambarkan secara keseluruhan kehidupan orang tersebut. Apa dibalik foto-foto tersebut hanya dia dan Tuhan yang tahu. Sebagai follower kita hanya menilai. Makanya sebagai follower kita jangan menjadi orang yang sok tahu perihal kehidupan orang lain. Apalagi ikut-ikutan membully, mengecam, terlalu cepat memvonis itu tidak baik.

Paling diwaspadai seseorang berbohong karena secara tidak sadar mengalami mythomaniac yakni orang yang memiliki perilaku yang terbiasa atau selalu terdorong untuk berbohong. Kebohongan yang dilakukan hanya karena ingin mendapatkan pengakuan dari orang lain.

Kebohongan dalam mengupdate status dimedia sosial bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk para artis atau public figure. Makanya jangan heran jika yang mereka upload sesuatu yang terlihat indah, mewah, mesrah namun ternyata dikehidupan nyata mereka justru terbelit dengan masalah utang, narkoba dan ancaman keretakan rumah tangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline