Lihat ke Halaman Asli

Pendekar, Filsuf, dan Saya

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulai kanak-kanak sampai sekarang, saya selalu suka dengan cerita silat, cerita epik, samurai, ninja, pertempuran, dan segala sesuatu tentang kependekaran. Saya masih ingat, bagaimana saya pulang cepat-cepat dari gereja, ketika sekolah minggu dulu, hanya untuk menonton serial Wiro Sableng. Bahkan, seingat saya, pernah tak sampai di gereja hanya untuk singgah di kedai menonton serial film tersebut dari awal mulai. Sebab, kalau pulang dari gereja barulah menonton, filmnya sudah berjalan hampir separuh.

Menginjak usia remaja, saya mulai berpikiran, bahwa dunia pendekar telah diganti oleh dunia sekolah. Orang-orang pintarlah yang menjadi para pendekar.

Irama Intelektulitas

Irama intelektualitas atau akademis sama saja halnya dengan irama cerita persilatan. Bicara tentang bakat, bakat sesuatu yang diperhitungkan; ada guru, ada kitab pusaka, ada jurus rahasia, ada serangan pamungkas, ada senjata; dan ada pertempuran intelektualitas.

Ketika duduk di semester lima, di sanalah saya menggali lebih jauh. Saya bertemu guru-guru silat sejati, yaitu para filsuf hebat. Nama-nama Socrates, Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, Thomas Aquinas, Agustinus, Kierkegaard, Nietzsche, Karl Max, Thomas Hobbes, Hegel, Betrand Russel, G.K. Chesterton, dan banyak lagi, yang mengisi memori otak saya dengan loading super lambat, terkadang bermunculan kotak dialog, kadang hang, bahkan konsepsi mereka bahkan tertolak.

Berhadapan para filsuf itu, ada yang berjumpa sebentar saja. Ada yang hanya nama besarnya saja saya dengarkan, karena demikian seringnya dikutip di buku yang saya baca. Ada di antaranya yang berkenalan cukup lama. Dan ada yang saya kenal dengan baik. Tapi tidak pernah cukup baik.

Saya sangat merasa tercerahkan ketika mempelajari filsafat yang mereka usung, walau tidak selalu sependapat dengan mereka. Menyesal rasanya, tidak bertemu dengan mereka sejak dari awal. Sangat menyesal ketika minat baca tumbuh subur baru ketika beberapa semester di bangku kuliah. Luar biasa menyesal karena kemampuan bahasa Inggri yang sangat terbatas. Banyak karya-karya filsafat dan literasi tentangnya yang bisa di dapat dengan mudah dalam bahasa Inggris di dunia maya. Literasi hebat dalam bahasa Inggris bertabur di jagat maya.

Kalau para pendekar bertarung fisik, para filsuf bertarung di dunia ide. Namun pertarungan ide bisa membawa pertempuran fisik, dan kengerian yang lebih dahsyat! Pemikiran para filsuf yang sesat boleh jadi mengucurkan dan membasmi orang-orang tak bersalah! Sebagaimana para pendekar bermeditasi, demikian juga para filsuf berkontemplasi, dan berefleksi. Para pendekar mempelajari kitab-kitab pusaka, para filsuf mempelajari kitab-kitab filsafat kuno dan filsafat mutakhir, dan kemudian menyusun sendiri filsafatnya.

Saya adalah filsuf

Sekarang saya merasa bahwa saya adalah salah seorang dari filsuf tersebut. Saya adalah filsuf terbaik bagi diri saya sendiri. Sebab, setiap orang adalah filsuf atas dirinya sendiri, terlepas betapa cupu, aneh dan menggelikannya bangunan pilosofinya.

Setiap individu membuat citra dunia dengan persepektifnya (menyusun fundasi filsafat), kemudian berpikir, memutuskan dan berbuat sesuai citra itu, dan akumulasi semua hal itulah menjadi karakternya. Kalau ingin mengubah karakter itu, ubahlah citra itu.

::RE[s]::




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline