“Mereka, para ahli yang berada di bawah tempurung disiplin keilmuannya masing-masing, sebaiknya tengadah ke bintang-bintang dan tercengang. ‘lho, kok masih ada langit lain di luar tempurung kita’. Dan kita pun lalu menyadari kebodohan kita sendiri.” Demikian Jujun Sumantri, dengan kekhasannya -- jenaka dan sekaligus cerdas -- menorehkan dalam bukunya, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer (hal. 20: 2007) yang mengingatkan kita untuk selalu rendah hati sehebat apapun intelektualitas kita.
*****
Siswa saya, Jun Pera, kelas XI IPS 2 SMA, siang tadi, berbeda dengan biasanya pada jam ke-enam dan ke-tujuh hari ini. Tak biasanya ia murung dan tak bergairah dalam mengikuti pembelajaran matematika, bahkan sekalipun itu pada jam terakhir. Saya menanyakannya secara langsung. “Ada apa Jun Pera? Kok murung? Ada masalah iya?”. Dengan beruntun pertanyaan saya meluncur untuk mengetahui ada apa gerangan dengan siswa kesayangan saya ini. Siswa yang lain menjawab, “lagi galau, Pak”. Dan mereka tertawa semua. Saya pun jadi ketawa pulalah.
Pembelajaran berlangsung dan siswa ini kelihatan berusaha untuk mengikuti pembelajaran sebaik mungkin. Mimik murungnya tidak hilang. Bahkan ia maju juga untuk menyajikan hasil karya diskusinya bersama temannya.
Usai pembelajaran, siswa saya tadi bersama temannya mengantar buku PR ke kantor. Tak lupalah saya menanyakan kembali apa yang sedang terjadi.
“Ibu *****, Pak?”
“Kenapa Ibu itu?”
Kemudian ceritalah siswa ini dengan isak tangis yang tak kuasa dibendung. Saya dapatilah siswa ini merasa terluka ketika mereka, Jun Pera bersama temannya, diklaim kelas buangan. “IPS itu kelas buangan.” Dengan rasa tergelitik, (akh.. cukup gampang pula saya tergelitik), prihatin dan haru. Tergelitik dan sekaligus prihatin, kok masih ada guru mengeluarkan pernyataan serupa itu terang-terangan di hadapan siswanya. Bahkan hanya untuk sekedar dipikirkan, oleh guru untuk melabel siswa seperti itu sungguh gagasan yang bodoh dan merendahkan. Saya haru akan pilihannya. Oleh karena penghargaan akan pilihannyalah dia merasa terluka ketika pilihannya direndahkan.
Memang tak semua siswa cerdas dilihat dari IQ. Tapi masing-masing anak, sesuai dengan keunikannya, memiliki kelebihan, bahkan keistimewaan (dan juga kekurangan). Ini jugalah yang telah Gardner tuangkan dalam teori inteligensi yang terkenal dan masuk akal itu. {ada kecerdasan: logis-matematis, (hanya ini saja yang diperiksa tes IQ), linguistic atau bahasa, Spasial, Musical, Intra-personal dan antar-personal, (yang dua ini dominan ke kecerdasan emosi(onal), EQ) serta naturalis, kecerdasan yang paling menantang, tapi sering tidak diperhitungkan. Inilah orang-orang yang suka berpetualang menantang dan sekaligus mencintai alam}. Tuhan mencipta bukan dengan sedang bermain dadu. Kira-kira demikian kata ilmuwan genius, Einstein. Creation is created by the Creator with creativity, gugah Stephen Tong. Kita semua adalah ciptaan yang berdaya cipta.
Sungguh tak pantas kita merendahkan sesama kita, hanya karena di bagian tertentu, jalan pikirannya tidak atau belum sesuai yang dengan kita inginkan. Apalagi hal serupa keluar dari mulut pendidik ke anak didiknya. Padahal sebenarnya, hakikat seekor lalat atau nyamuk pun tidaklah betul-betul kita pahami.
Setiap citra yang kita tangkap dari seorang individu bukanlah representasi menyeluruh dari individu itu sendiri tersebut. Akal dan logika kita tidak sempurna. Pengetahuan kita tidak pernah lengkap. Kapasitas otak kita dalam menangkap imago tidaklah seperti kamera menangkap citra objeknya. Setiap orang yang kita akui kita pahami adalah fenomena gunung es. Selalu hanya menangkap puncak atau ‘ujungnya’.Imago atau citra yang kita tangkap sebenarnya hanya bukan apa adanya. Tapi persepsi atau paradigma yang dipengaruhi latar belakang kita sendiri. Sering saya lihat anak cukup cerdas jika tidak di dalam ruangan kelas. Selalu ada saja hal yang terlewatkan dari orang yang kita rasa cukup kita kenal. Ternyata si Anu pelukis berbakat di balik keisengannya naik motor ugal-ugalan. Ternyata X, dibalik mukanya yang sangar adalah seorang yang murah hati dan lembut dan ia senang memelihara binatang piaraan.
*****
Masa SMA saya dulu pun sebenarnya hal-hal demikian sudah terjadi. Orang-orang yang dianggap cerdas berkcenderungan untuk memilih program IPA daripada IPS sekalipun siswa, potensinya – bakat, minat, dan kemampuannya – masih dominan di bagian IPS.Tapi ini sebenarnya tidak lepas dari kondisi yang diciptakan guru itu sendiri, yang menganggap bahwa IPA lebih tinggi daripada IPS. Dan gagasan bodoh ini saya rasa sudah lama muncul dari berbagai bacaan yang pernah saya kunyah.
Dan saya sungguh tergelitik dan prihatin dengan guru yang merendahkan siswanya oleh karena ia IPS. Padahal guru ini pengampu mata pelajaran IPS pula. Lupakah kita bahwa anak SMA itu sebagian besar sudah menjelang dewasa awal? Mereka tak lagi lugu. Dan sebenarnya pun, untuk anak SD sekalipun tidak baik. Dan selugu apapun mereka, adalah bodoh menganggap mereka bodoh. Kukira kita dengan demikian, bukan sedang menipu diri.
Wahai, para pelajar, kami guru jugalah memang yang membuat kalian tidak senang belajar. Tidak mencintai sekolah. Membenci didikan.Kami jugalah, yang mengaku pendidik ini, terkadang yang membuat kalian menjadi bodoh. Kalian cerdas adanya, bukankah kalian pintar naik sepeda tanpa kami ajari? Bukankah kalian jago main poker atau PS (Play Station) yang butuh kecerdasan tinggi dan yang juga bukan kami latih? Bukankah kalian suka belajar apa saja ketika masih anak-anak tanpa iming-iming nilai yang menjijikkan tapi hasrat belajar itu makin pudar oleh karena kalian salah ajar oleh kami?
*****
“Di awal kan sudah saya tegaskan, jangan merasa minder kalau kalian memilih IPS. Jangan pula merasa bahwa IPS itu pilihan (program studi) buangan. …”
“iya, Pak” …
Sharing kami juga bersama dengan seorang guru yang lain. Siswa kami itu akan melupakannya. Siswa cerdas dan manis itu pun permisi untuk pamit duluan. Bersyukur, kami bisa memberikan sedikit penghiburan kepadanya.
Tapi saya masih merenung reflektif. Apakah kata-kata yang saya gunakan semakin mendidik siswa atau justru semakin memperbodoh mereka?
Dan saya bukan sedang mengorek-ngorek kesalahan rekan guru ini. Dan juga, tulisan ini saya tujukan pertama sekali kepada diri saya. 31/08/12; RES.
Salam Pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H