Lihat ke Halaman Asli

Jiwa Arif Sahabatku yang Terhilang

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surya telah tertelan senja. Malam perlahan menyelimuti belahan bumi. Raut wajahnya semuram senja kelabu. Sinar lampu temaram semakin meredupkan binar matanya. Sorot mata kian kosong. Gemerisik atap terpaan gerimis tiada sedikitpun mengusiknya. Walau sesaat tak rela beranjak tinggalkan teras rumah-tua itu. Sejak fajar menyingsing dia telah di sana. Duduk dan tenggelam di alam pikirnya.

Air hujan mengucur dari talang bocor tepat mengenai kedua kaki yang disilangkan. Tetap bergeming. Tak sedikit pun dirasakan dinginnya senja bergerimis itu. Tampaknya dia telah demikan kebal akan hawa dingin menusuk tulang …

*****

Aku mengenal Arif sudah cukup lama. Pertama jumpa ketika kuliah di salah satu kampus negeri di Medan. Kami satu kelas. Perkenalan awal dengan dia terkesan biasa saja. Tadinya mengira Arif sama seperti mahasiswa lainnya yang kuliah hanya untuk dapat ijazah semata, dipekerjakan sebagai PNS, kemudian kawin, beranak, lalu mati.

Kami mengikuti suatu organisasi bidang kerohanian yang bukan hanya gugah batin. Tetapi juga nalar. Dalam organisasi ini kami dikelompokkan. Aku sendiri sangat bersyukur akan adanya kelompok kecil ini. Serasa mendapat keluarga baru. Lubang hatiku terisi oleh kasih persaudaraan dan persahabatan yang tulus-ikhlas. Dalam kelompok kecil inilah aku semakin sadar akan berbagai hal tentang hakikat hidup. Aku yang tadinya melankolis dan introvert mulai ber-revolusi menjadi seorang yang sanguin, periang dan terbuka. Aku semakin menemukan diriku dalam kelompok kecil ini. ternyata watakku terbentuk oleh karena Ayah yang temperamental. Watak riangku terkung-kung. Jadi pada masa inilah watak riangku me-lepas.

Begitu juga dengan Arif. Ternyata dia seorang yang berbakat. Kemampuan bermusiknya begitu luar biasa. Dia seorang gitaris. Jemarinya yang lentik begitu entengnya menari pada gagang gitar. Semester kedua, belajar main keyboard sama saya. Dia amat menyukai permainan piano. Aku transfer segala pengetahuan permainan piano yang aku dapat dari guru les musik-ku selama SMA. Hanya satu semester waktu yang dia butuhkan untuk menyalib kemampuan bermusik-ku. Tapi tetap saja dia membutuhkanku sebagai vokalisnya. Karena suaranya yang cempreng kalah dengan saya.

Kami berdua dan lima teman lainnya sangat senang ketika berkumpul, nyanyi, dan tertawa bersama. Tapi bukan hanya itu. Kami juga berbagi dengan hal-hal yang mendukakan dan mengiris hati. Ternyata beban hidupku dengan latar belakang keluarga broken home tidak seberapa dibanding teman tiga orang lainnya. Temanku, Bennie berlatar belakang keluarga miskin mendekati melarat. Ayahnya sudah tiada. Ibunya sakit-sakitan. Mereka lima bersaudara. Kalau bukan karena uluran tangan kasih kerabat dan sokongan beasiswa dari pemerintah, Bennie sudah pasti tidak akan kuliah. Barangkali nasibnya akan seperti kedua abangya. Putus sekolah. Kemudian merantau ke Batam dan ke Papua dengan modal nekat-nekatan. Beasiswa mahasiswa berprestasi dari pemerintah sering dialih-fungsikan demi uang sekolah adik-adik dan biaya pengobatan bundanya yang mengidap gangguan pernafasan, TB. Dan Benie juga ngasi les privat ke sana kemari untuk mendapat uang tambahan.

Kemudian Ika. Ika telah kehilangan kedua orang tuanya ketika SMP karena suatu kecelakaan. Satu tahun tinggal bersama bibinya. Tetapi ketika bibinya bertugas ke luar kota selama satu bulan, pamannya memperkosa dia beberapa kali. Waktu itu Ika duduk di kelas tiga dan tinggal satu bulan lagi akan UN. Kemudian ketika kebejatan pamannya terungkap, dia tinggal bersama tantenya.

Kemudian Arif. Mulai dari kakek buyut sampai generasi Ayahnya dikenal sebagai orang terpandang. Karismatis, berharta dan rendah hati. Namun suatu saat, ketika teman terbaikku ini masih duduk dibangku kelas IV SD, kelurganya mengalami goncangan dahsyat. Bundanya mengalami schizophrenia. Gangguan jiwa yang mengganggu semua ketenangan dan menghancurkan semua impian keluarga itu.

Arif tumbuh dengan watak tertutup dan cenderung minder dan penyuka sepi. Aku pernah bertanya mengapa Bundanya Arif sampai demikian depresi dan mengalami gangguan kejiwaan. Asumsi Arif, factor penyebab paling tidak tiga kemungkinan. Ayah yang selalu lebih mengikuti keinginan oma ketimbang bundanya, praktek okultisme bundanya sendiri dan factor genetis. Beberapa generasi di atas bundanya terdapat kasus schizophrenia.

Tak kuasa aku dan Benie menahan air mata. Ika si periang menangis lepas pada acara kebersamaan di sore yang tenang di bawah pohon jambu air dekat rumah skretariat organisasi kami. Citra mencoba meredakan isak tangis Ika. Dua teman lainnya, Putri dan Benyamin, pemimpin kelompok kecil diam membisu dengan mata berkaca-kaca.

*****

Memasuki tahun keempat, Arif sudah jarang kelihatan bermain music ataupun keyboard. Ternyata sekarang dia telah memiliki hobbi baru, yaitu membaca dan menulis. Sebenarnya di awal kuliah pun aku sudah melihat kecintaannya akan buku. Bacaan dan music jugalah yang membuat kami paling nyambung dibanding teman-teman lainnya. Tapi sekarang membacanya begitu intens. Dari awal perkuliahan, tak sedikit pun kuragukan kemampuan akademisnya. Hampir tak ada buku yang susah dicernanya.

Tetapi aku agak heran juga dengan perubahan lakunya. Dia kembali menjadi penyuka kesunyian dan teramat gampang tersinggung. Dalam balutan kesunyian, dia senantiasa membaca dan menulis.

Namun banyak tulisannya yang susah dimengerti. Cerita fiksi yang dilahirkannya pun terkesan misterius, mengerikan, emosional dan sarkastis. Semua karya fiksi itu tak satu pun pernah dipublikasikan sekalipun hanya di facebook atau blog.

Aku juga sangat heran akan keranjingannya membaca bacaan berbau filsafat. Katanya dia sangat mengagumi filsuf Feuerbach, Karl Max, Kierkegaard dan Nitche. Juga amat memuja Sartre dan Freud.

Suatu saat dia pernah bercerita bahwa dia sebenarnya ateis. Sontak aku terkejut! Arif yang rajin mengikuti telaah Alkitab itu mengaku ateis? Jadi kepada Apa atau Siapakah dia berdoa dan bersyukur selama ini?

*****

Setelah menamatkan kuliah, aku langsung merantau ke Jakarta. Arif sendiri katanya mau berpetualang entah kemana. Beberapa bulan kemudian, nomor hp-nya tak lagi aktif. Di dunia maya pun tak pernah telihat. Akun blog dan facebooknya juga sudah tidak ada. Aku merindunya. Aku coba mencari keberadaannya. Tiada kutemukan.

tujuh tahun sejak perpisahan itu. Rasa rindu akan persahabatan yang menyenangkan menjadi sumber inspirasiku dalam menciptakan nada dan kata di samping pekerjaanku sebagai guru. Novel-ku yang berjudul “Dimana pun Engkau Berada” yang juga terinspirasi karena persahabatanku dengan Arif laris manis. Aku sungguh tak menduga. Novel itu menjadi best-seller nasional dan – dan bahkan bagian tertentu merupakan semacam otobiografiku -- sekarang dalam proses penerjemahan untuk diterbitkan dalam bahasa Inggris.

Pastilah Arif sudah semakin matang dalam bakat-bakatnya. Tapi aku juga segera teringat akan kalimatnya yang ini, ketika pujian tulus kuberikan akan bakat music, menulis, karisma berpidato dan kecerdasannya: “Persetan dengan bakat”, Arif menjawab reaktif sekaligus subversive, “Seluar biasa apapun bakat yang kumiliki, itu takkan bisa kugadaikan demi jiwa Bundaku!”

Pernah juga Arif membuat kami kaget minta ampun ketika memimpin doa di awal masuk dalam kelompok kerohanian yang aku ceritakan di atas. “Kita berdoa. Tak perlulah kiranya kami bersyukur kepada-Mu Tuhan, karena kami yang mengusahakan semuanya. Dan tak mungkin jugalah berterima kasih kepada Pencipta yang bahkan untuk memelihara ciptaan-Nya pun ogah. Amin”. Kami betul-betul heran. Menggelikan, tapi juga menakutkan.

*****

Suatu saat aku bejumpa dengan Citra. Menyenangkan sekali berjumpa dengan sahabat saya yang paling cuek sedunia ini. Segeralah aku bertanya kepada Citra tentang Arif. Citra juga tidak banyak tahu. Lima tahun yang lalu mereka pernah berjumpa di bandara Polonia. Ketika itu gadis manis yang makin manis ini segera akan berangkat ke Jakarta. Arif sendiri baru tiba. Citra lupa pula bertanya dari mana tiba-nya Arif. Tapi yang jelas, dalam pertemuan yang singkat itu, Arif katanya mau pulang kampung. Kampungnya di Pematang Siantar.

Aku niatkan untuk singgah di Siantar minggu depannya ketika pulang kampung ke Tarutung.

Setelah turun di terminal Parluasan, Pematang Siantar, segeralah kupesan ojek ke rumah Arif dekat perkebunan Sawit.

Rumah paling ujung sebelah kiri, itulah rumah keluarga Arif. Ternyata aku akan segera bertemu sahabat lamaku.

“Rif… Arif…!” teriakku sambil berlari kecil mendekat. Kepala itu tiada mendongak. Perlahan mukanya diangkat. Tapi sorot matanya jauh menatap alam yang lain. Kemudian dia tersenyum. Bola mata besar yang dulunya tajam itu sekarang demikian tumpul.

“Rif.. apa yang terjadi?”

“jiwanya hilang. Kemudian raganya..” Arif menjawab sambil tersenyum.

“Jiwa siapa?”

“jiwanya hilang. Kemudian raganya..”

“Ada apa Arif?”

“jiwanya hilang. Kemudian raganya..”

“Ada apa dengan-mu, Rif?”

““jiwanya hilang. Kemudian raganya..”

“Bang Arif menderita schizophrenia, Bang…” dengan lirih seorang wanita mendekat kepada Arif.

*****

Wanita tadi, Pusva, ternyata Adik perempuan Arif, bercerita:

“... Bang Arif mengalami gangguan setelah ibu kami meninggal. Bang Arif sangat mendambakan kepulihan Ibu kami. Beberapa hari setelah Ibu dikebumikan, bang Arif tak mau keluar kamar. Dan kalaupun harus keluar, dia paling hanya duduk di teras ini. Di teras ini jugalah Ibu kami selalu duduk … Bang Arif sangat terkenang akan situasi satu hari sebelum Ibu meninggal… ” aku duduk berhadap-hadapan dengan Pusva. Aku meneguk teh manis dan juga terpesona akan kecantikan Pusva. Pusva memang Puspa. Seandainya, … Akh.. kurang ajarnya saya. Demikian pikirku. Sahabat saya sedang menderita aku kok mikir macam-macam.

*****

Sudah dua tahun pernikahanku dengan Pusva. Sekarang kami memiliki dua bayi kembar. Arif tinggal bersama kami. Jiwanya yang seutuhnya belum kembali. Tapi aku yakin, cepat atau lambat akan segera pulih. Senja tadi Arif agak cengeng. Tapi aku jadi dapat ide untuk menulis esai. Kembali menjejakkan langkah yang sempat tersendat.

RES;9/7/2012.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline