Lihat ke Halaman Asli

Sarjana Baru itu Bercermin

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku telah memikirkan tulisan ini, pagi ketika kami mengikuti acara pelantikan di gedung itu. Ingin sekali rasanya mengabadikan refleksi pada momen ini di dalam suatu tulisan.

Setelah acara pelantikan pada tanggal 9 November 2011 ini, kami yang tadinya “c.S.Pd”, sekarang resmi menjadi “S.Pd”. Kami, dengan sah, sudah dapat menorehkan gelar itu di belakang nama kami.

Angan ini menoleh ke belakang. Bagaimana perjuangan dan masa untuk mencapai gelar itu. (Banyak juga orang yang menjadikan gelar itu hanya sebagai tujuan. Sehingga marak terjadi jual-beli gelar akademis dibeberapa kampus. Pada hakikatnya, gelar itu merupakan ‘akibat’ dari belajar dalam sekian waktu dan sesuai dengan persyaratan tertentu). Ternyata banyak hal yang terlewatkan dan tersesalkan. Begitu banyak malah. Dari sekian banyak tugas, apalagi awal tahun pertama, cukup banyak tugas yang dikerjakan asal jadi atau seadanya saja. Ada yang dikerjakan setengah hati. Bahkan, kadang jatuh juga dalam tiga skandal ‘dosa intelektual’: fabrikasi, mengarang cerita; falsifikasi, pemalsuan data; plagiat, menjiplak karya. Sering sekali mengerjakannya dengan semboyan, “pokoknya siap!”

Makalah yang aku atau kami susun secara berkelompok, sering sekali hanya tumpukan dari ide-ide atau gagasan yang tidak original. Bukan suatu karya yang runtut yang berisi gagasan-gagasan yang bermanfaat. Ibarat disuruh membangun suatu gedung, tapi yang dikerjakan hanya sekedar menimbun pasir, mengumpulkan batu, semen dan bahan-bahan bangunan. Tak kunjung ada bangunannya. Yang ada hanya tumpukan alat dan bahan bangunan. Dengan demikian, makalah itu sebenarnya tak begitu berarti. Konsep-konsep yang dipelajari cenderung tidak sampai pada level sintesis.

Aku juga telah melewatkan banyak kompetisi, padahal aku berkesempatan untuk berpartisipasi. Memang kompetisi dapat menumbuhkan kesombongan. Tapi, kompetisi itu penting untuk mengukur kompetensi. Ingin juga selama kuliah di Kampus Antah Berantah, goresan tangan,pernah – paling tidak satu kali aja pun – dimuat di media massa. Tapi sayang. Keinginan itu tiada terpenuhi, sekalipun sudah beberapa kali mencoba. Barangkali memang kualitasnya yang tak layak muat. Salut buat kawan-kawan mahasiswa yang karya-karyanya sudah (pernah) dimuat.

Pengerjaan tugas akhir merupakan saat-saat yang menegangkan. Banyak menguras dana dan daya. Makan hati kadang. Tugas akhir itu merupakan representasi kualitas penulisnya selama menempuh studi. Sayangnya, sebagian pengerjaannya, tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Untunglah di kata pengantarnya kucantumkan permohonan maaf atas ketidaksempurnaan skripsi itu.

Banyak fenomena lucu, tapi tidak menggelikan dalam pengerjaan TA ini. Ada yang hanya numpang foto ke sekolah. Ada yang untuk foto pun, foto ketika PPL. Ada teman cerita kalau skripsi ini bisa diperjualbelikan. Kita cukup ngasih uang muka kepada orang yang memberikan ‘jasa’, menyelesaikan administrasi di kampus, menunggu tempahan skripsi kemudian membereskan upah si penyedia jasa. Skripsi siap. Sepertinya penipuan yang satu ini sudah keterlaluan.

Menggugat Gelar

Terkadang hati kecil ini bertanya apakah aku layak untuk menjadi seorang S.Pd. Jurusan ini saja mau aku pertanyakan entah pas atau tidak. Ada-ada saja. Terus ada pikiran lain, sepertinya ini pikiran jalang. “lihat tuh dosen kau, banyak di antara mereka itu yang sudah professor doctor. Kau saja mau bilang di antara mereka itu ada si penindas! tidak mendidik! Oppung yang di kampung sana jauh lebih arif, dan kawan-kawanmu juga membenarkan asumsi kau itu. Mereka tak layak menyandang gelar itu! Dosen-dosen yang tadi itu aja kan tidak mempertanyakan gelarnya”. Pikiran lain langsung menyanggah, “Jangan cepat ambil penilaian. Belum tentu kau lebih baik dari mereka. Biar Dia yang menjadi Hakim. Buang kacamata kudamu itu!”. Perdebatan metafisik yang sudah biasa terjadi. Aku sadar dengan natur yang paradoksal ini. Makhluk mulia, tapi sekaligus makhluk hina atau celaka. Tidak masuk akal. Kehinaan itulah yang membuat aku hampir selalu setiap saat harus merendahkan diri dihadapan-Nya untuk memohon pengampunan.

Kemudian berpikir, biarlah gelar ini kusandang, tapi oleh karena kemurahan. Bukan karena kualitas. Tapi gelar ini tetap juga harus ditebus! Menggelikan. Bak makan di kedai nasi. Makan dulu baru bayar. Sepertinya diri ini harus buat janji dengan diri sendiri untuk menebus gelar tersebut. Harus menjadi pembelajar sepanjang hayat, mengulang-ulang mata kuliah yang sudah lulus secara otodidak. Kehidupan ini katanya cukup bisa memberikan kebutuhan kita, tergantung bagaimana kita berusaha untuk mendapatkan dan menerima.

Tapi aku juga masih memikirkan gelar ini. Susah menepis khayal liar ini begitu saja. Aku berpendapat bahwa ternyata gelar itu tidak selalu berbanding lurus dengan kompetensi orang yang menyandangnya. Ada orang yang bergelar S.Pd, tapi lebih terampil untuk membahas politik daripada teori-teori pendidikan. Tapi aku juga jadinya kembalimempertanyakan jurusan dan gelarku. Teori pendidikan apa saja yang kukuasai secara utuh dan menyeluruh. Aku hanya ingat teori pembelajaran John Locke dengan tabula rasa-nya dan Freire dengan pendidikan kaum tertindas dan politik pendidikan-nya. Bagaimana dengan Vigotsky, Viaget, Brunner, Bandura, Pavlov dan yang lainnya, ya?

Kembali dengan ketidaksinkronan latar belakang pendidikan dengan kompetensi. Ada juga kawan yang berlatar belakang psikologi, tapi lebih terampil dengan music. Dia lebih kenal Mozart daripada Freud. Ada yang berlatar belakang sains, tapi lebih berminat dan berskill dalam teologi. Genaplah tesis yang menyatakan bahwa apabila manusia-manusia itu berbentuk kotak, sering ditemukan dia masuk ke lubang berbentuk lingkaran; berbentuk lingkaran tapi masuk ke lubang berbentuk segiempat. Tapi sekalipun demikian, semoga semuanya itu bermanfaat bagi kemanusiaan dan menyenangkan hati Tuannya karena itulah rencana atas dia.

Medan , 9 April 2011

R. E. S.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline