Lihat ke Halaman Asli

Perlindungan Hak Normatif Pekerja/Buruh pada Perusahaan Pailit

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1.Abstrak

Pekerja/buruh memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dalamperkembangan suatu usaha atau bisnis. Pekerja/buruh adalah lokomotif penggerak suatu entitas bisnis yang tergabung dalam suatumanajemen perusahaan yang artinya tanpa adanya buruh atau pekerja tidak mungkin suatu perusahaan dapat melakukan operasional bisnisnya untuk mewujudkan tujuan perusahaan dalam mendapatkan laba. Dalam hal ini pekerja atau buruh adalah resources dari suatu perusahaan.

Dalam kondisi normal dan perusahaan masih dapat beroperasi dengan baik, kepentingan dan hak-hak pekerja/buruh masih dapat diakomodir oleh manajemen perusahaan. Tetapi ketika perusahaan tersebut mendapatkan terpaan krisis ataumasalah keuangan (pailit) seringkali hak-hak pekerja/buruh tidak bisa diakomodir lagi dan bahkan dilupakan oleh manajemen perusahaan dan pihak-pihak yang diperintahkan untuk mengurusi masalah keuangan dan aset perusahaan.

Salah satu hak hak pekerja/buruh yang secara normatif diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh untuk memperoleh upah dan uang pesangon. Tetapi dalam kenyataannya hak pekerja/buruh atas upah dan pesangon tersebut tidak bisa lagi diakomodir dan bahkan dilupakan oleh Pihak yang seharusnya wajib menyelesaikannya, yaitu Kurator yang ditunjuk oleh Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan semua permasalahan yang berhubungan dengan Perusahaan yang terkena pailit tersebut. Terkait dengan penyelesaian pembayaran upah dan uang pesangon menurut undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004.

Tujuan dari penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis yaitu untuk mengkaji hak-hak normatif pekerja/buruh ketika perusahan mengalami pailityang dihubungkan dengan peran dan tanggung jawab seorang kurator terhadap asset perusahaan dan kaitan dengan masalah perburuhan pada perusahaaan yang terkena pailit berdasarkan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

1.RINCIAN BAB :

BAB I: PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Permasalahan

1.2Rumusan Masalah

1.3Tujuan Penulisan

1.4Manfaat Penulisan

1.5Metode Penelitian

1.6Sistematika Penulisan

1.7Pembahasan

1.8Kesimpulan dan Saran

DAFTAR BACAAAN/LITERATUR

LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Dalam rangka pembangunan nasional untuk pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnyauntuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan yang penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan.

Oleh karenanya diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam hal perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Salah satu pasal dalam UUD 1945 yaitu pasal 28D yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Pasal 4, pembanguanan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Di dalam operasionalnya, perusahaan tidak selalu menunjukkan perkembangan dan peningkatan laba (profit), ada banyak resiko dari bisnis baik itu resiko investasi, resiko pembiayaan dan resiko operasi. Dimana semua hal itu bisa mengancam kesinambungan dari keuangan perusahaan tersebut dan yang paling patal perusahaan bisa mengalami bangkrut (pailit) karena tidak bisa membayar semua kewajiban utang perusahaannya. Kepailitan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah sita umum atas kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitur tidak mampu lagi untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya. Karena adanya kesulitanini, perusahaan dalam rangka operasionalnya untuk pengeluaran pembayaran kewajiban gaji kepada pekerja/buruh pastinya akan mengalami masalah juga dan cenderung tidak bisa membayar kewajiban tersebut.

Memang Undang-Undang tidak menentukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai akibat tunggal atas pailit. Oleh karena itu, putusan pailit tersebut memberikan dua kemungkinan alternatif bagi Perusahaan. Pertama, meski telah dinyatakan pailit , kurator Perusahaan pailit dapat tetap menjalankan kegiatan usahanya dengan konsekwensi tetap membayar biaya usaha seperti biaya listrik, telepon, biaya gaji , pajak, dan biaya lainnya. Kedua, kurator perusahaan pailit berhak melakukan pemutusan hubungan kerja dengan dasar pasal 165 Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.

Tetapi manakala terjadi permasalahan pailit dan terjadi pemutusan hubungan kerja dalam satu perusahaan, seringkali pekerja/buruh kesulitan mengkases informasi dan hak-hak mereka. Hal ini dapat dilihat dewasa ini seringkali hak-hak buruh dan kepentingan buruh dikesampingkanoleh Kurator yang mengurusi harta boedel pailit yang lebih mementingkan kreditur lain dan dirinya sendiri. Seringkali terjadi perselisihan Pekerja/Buruh dengan Pihak Perusahaan yang diwakili oleh Kurator yang lebih condong kepada aturan yang termuat dalam Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan cenderung melupakan hak-hak normatif pekerja/buruh seperti yang dimaksud oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.

Melirik ke Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum dan badan lainnya dengan menerima upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula pekerja/buruh yang menerima imbalan dalam bentuk barang. Sebagaimana dengan istilah pemberi kerja/pengusaha dalam hal ini perusahaan , menurut Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain atau usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Kemudian hubungan antara pengusaha/perusahaan dengan pekerja/buruh yang berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah dinamakan hubungan kerja.

Bahwa kedudukan Pengusaha selaku Debitor Pailit digantikan oleh Kurator selama proses kepailitan berlangsung, dimana kurator tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dalam menjalankan ketentuan mengenai PHK dan penentuan besarnyaPesangon.Pasal 95 ayat 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Dalam kata lain bahwa kedudukan buruh/pekerja dalam kepailitan merupakan kreditor preference/Kreditor yang diistemewakan yang didahulukan pembayarannya dari pada utang lainnya, Pasal 39 ayat 2 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang: sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terhutang sebelum maupun sesuadah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.

Walaupun sudah jelas dinyatakan demikian tetapi seringkali Kurator bekerja hanya memakai acuan hukum berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tanpa melakukan perimbangan-pertimbangan keputusan berdasarkan Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus perburuhan pada perusahaan yang sedang mengalami pailit. Seringkali ketika perusahaan tersebut yang dinyatakan pailit mengalami masalah pembayaran upah dan pesangon dari pekerja yang tidak jelas dan bahkan pekerja/buruh sangat sulit mendapatkan hak-haknya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Ada banyak faktor yang menggenerate permasalahan perburuhan ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit, misalnya faktor kuratornya sendiri, perusahaannya, pemahaman pekerja dan kepentingan dari semua shareholder yang harus dipenuhi dan aset perusahaan yang sudah sangat terbatas untuk membayar semua kewajiban-kewajibannya.

Permasalahan pokoknya adalah perbedaan kedudukan hukum dan ekonomi yang terkait pembayaran dalam kepailitan antara kreditor separatis dan buruh. Bagi kreditor separatis, pembayaran dalam kepailitan dijamin pelunasannya dengan hipotek, agunan, fidusia, gadai dan hak tanggungan. Bagi buruh, selaku kreditor preferen khusus, kedudukannya berada dibawah kreditir separatis, sehingga jikalau harta debitor telah dijadikan agunan dan dikuasai oleh para kreditor separatis, hal tersebut dapat berakibat buruh tidak memperoleh apapun.

Hal ini sering bertentangan dengan perlindungan atas hak-hak buruh yang telah dijamin dalam UUD 1945, yaitu kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama karena buruh sebagai pekerja berhak untuk mendapat imbalan serta perlakuan yang adil danlayak dari pekerjaan yang telah dilakukannya yang mendukung haknya untuk hidup

Dewasa ini banyak kasus sengketa hak antara pekerja/buruh dengan Kurator ketika pemberesan harta pailit. Dimana pekerja.buruh seakan-akan dikesampingkan ataupun di nomor duakan ketika melakukan pembayaran hak Pekerja/buruh. Salah satunya kasus PT. Dirgantara Indonesia dan PT. Surya Sindoro Wood Industry (SSSWI) yang mengakibatkan hak-hak pekerja/buruh tidak jelas dan tidak terlindungi.

Dalam hal ini yang ingin kita bahas adalah permasalahan kepentingan dilihat dari sisi pekerja/buruh yang kepentingannya menuntut hak atas upah dan hak lain mereka (hak normatif pekerja/buruh) yang belum dibayar tetapi di sisi lain ada kepentingan kreditur yang membagi aset perusahaan pailit tersebut dengan perantaraan seorang kurator. Bahwa kedudukan Pengusaha selaku Debitor Pailit digantikan oleh Kurator selama proses kepailitan berlangsung mengacu kepada dua undang-undang yaitu Undang –Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13. Tahun 2003..

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:

1.Bagaimanakan kewenangan dan tanggung jawab kurator pada aset perusahaan yang terkena pailit menurut perundang-undangan yang berlaku?

2.Bagaimanakan Hak-hak normatif pekerja/buruh pada perusahaan pailit menurut perundang-undangan yang berlaku?

3.Bagaimanakah hubungan kewenangan kurator dan tanggung jawab kurator terhadap hak normatif pekerja pada perusahaan yang terkena pailit?

1.3Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1.Untuk mengetahui sejauh mana kewenangan dan tanggung jawab seorang kurator menurut Undang-Undang Kepailitan di Indonesia.

2.Untuk mengetahui hak-hak normatif pekerja dalam hukum Perburuhan dan Kepailitan Indonesia.

3.Untuk mengetahui hubungan kewenangan dan tanggung jawab kurator terhadap hak normatif pekerja pada perusahaan yang mengalami pailit.

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1.Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat memberi masukan kepada masyarakat tentang mekanisme penerapan hukum hak-hak pekerja dalam perusahaan pailit yang dilakukan oleh kurator sehubungan dengan tugasnya yang ditunjuk oleh Undang-undang.

2.Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahna informasi dan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan dan eksekusi penerapan hukum kepailitan di Indonesia.

3.BagiLembaga Legislatif

Sebagai bahan pertimbangan dan tambahan bagi pihak legislatif dalam penyusunan Undang-undang kepalitian Indonesia dimasa yang akan datang pabila dimungkinkan adnaya perubahan.

4.BagiLembaga Yudikatif

Sebagai bahan pertimbangan bagi hakim untuk memutuskan dan mengawasi hal-hal yang berhubungan dengan eksekusi aset perusahaan pailit dan pengawasan terhadap kinerja Kurator.

5.Bagi Peneliti dan Akademisi

Hasil penelitian ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti apabila suatu saat kelak berkiprah sebagai seorang Advokat .

1.5Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian normatif. Dengan metode normatif ini, skripsi in akan meneliti tentang norma-norma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan – putusan pengadilan yang berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pekerja atau buruh dalam rangka mendapatkan hak-haknya ketika perusahaan mengalami pailit.

1.6Sistematika Penulisan

Pendekatan masalah dalam penulisan ini adalah dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan cara menelaah, mengkaji, dan mempelajari semua peraturan dan perundang-undangan, serta regulasi yang terkait dengan isu hukum yang diangkat. Undang-undang dan peraturan lainnya yang dipergunakan dalam pokok masalah difokuskan terhadap masalah penanganan hak-hak buruh pada perusahaan yang mengalami pailit.

1.7Pembahasan

Pailitmerupakansuatukeadaan dimanadebiturtidakmampu untuk melakukanpembayaran-pembayaranterhadaputang-utangdari parakrediturnya. Keadaantidakmampumembayarlazimnyadisebabkankarenakesulitankondisi Keuangan (financial distress) dari usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitanmerupakan putusan pengadilan yang mengakibatkansitaumumatasseluruhkekayaandebiturpailit,baikyangtelah adamaupunyangakanadadikemudianhari.Pengurusan danpemberesan kepailitan dilakukan oleh kuratordibawah pengawasanhakimpengawasdengan tujuanutamamenggunakanhasil penjualanhartakekayaantersebutuntuk membayarseluruhutangdebiturpailittersebutsecaraproporsional(prorateparte) dan sesuaidengan strukturkreditur.

Tujuankepailitan padadasarnya memberikan solusiterhadap para pihakapabilaDebitordalam keadaanberhentimembayar/tidakmampu membayar utang-utangnya.Kepailitanmencegah/menghindaritindakan- tindakanyangtidakadildandapatmerugisemuapihak,yaitu: menghindarieksekusioleh Kreditordanmencegahterjadinyakecurangan olehDebitorsendiri. Kepailitanmerupakanlembagahukum yangmempunyaifungsi penting, yaitu sebagai realisasi dari dua pasal penting didalam KUH Perdata mengenai tanggung jawabDebitor terhadap perikatan-perikatan yangdilakukanyaituPasal1131dan1132sebagaiberkut:

Pasal1131:

Segalakebendaansi berutang,baikyangbergerakmaupunyang tak bergerak,baik yangsudahadamaupunyangberuakanadadi kemudianhari, menjaditanggunganuntuk segala perikatannya perseorangan”.

Pasal1132:

Kebendaantersebutmenjadijaminanbersama-samabagi semua orangyangmengutangkanpadanya;pendapatanpenjualan benda-bendaitudibagi-bagimenurutkeseimbangan,yaitu menurutbesarkecilnyapiutangmasing-masing,kecualiapabila diantarapara berpiutangitu adaalasan-alasanyangsahuntuk didahulukan.

Pasal1131KUHPerdatatersebut diatasmengandung asasbahwa setiaporangbertanggungjawab terhadaputangnya,tanggungjawabmana berupa menyediakan kekayaannya baikbenda bergerak maupun benda tidak bergerak, jika perlu dijual untuk melunasi utang-utangnya.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 22, harta debitur pailit yang sudah ada pada saat Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maupun yang akan diperoleh selama kepailitan berlangsung digunakan untuk membayar semua krediturnya secara adil dan merata yang dilakukan seorang Kurator di bawah pengawasan HakimPengawas.

Untuk lebih memahami wewenang dan tanggung jawab kurator dalam rangka pengurusan harta boedel pailit sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu :

1)Pada pengertian secara umum tugas dari Kurator dalam Hal pernyataan Pailit Debitor adalah mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 69 ayat 1 UU Kepailitan dan PKPU.

2)Dalam hal melaksanakan tugasnya, Kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu Debitor, meskipun dalam keadaan diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan (Pasal 69 ayat 2 huruf a).

3)Pada saat melaksanakan tugasnya kurator dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam meningkatkan nilai harta pailit dengan persetujuan lebih dahulu Hakim Pengawas (Pasal 69 ayat 3 dan 4).

4)Dalam hal melaksanakan tugaspengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit diucapkan, tetap berwenang meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi dan atau peninjauan kembali (Pasal 16 ayat 1).

5)Jika dalam putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud Pasal 17 tetap sah danmengikat Debitur (Uit voor baar bij voor raad Pasal 16 ayat 2).

6)Dalam melaksanakan tugasnya Kurator bertanggung jawab terhadap kesalhan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 72).

7)Sejakmulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang perhiasan, efek, dan surat berharga lainnnya dengan memberikan tanda terima (Pasal 98).

Secara rinci tugas Kurator yaitu :

1)Membuat daftar harta pailit debitor (Pasal 100).

2)Membuat daftar piutang kreditor (Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118).

3)Kurator wajib memasukan piutang yang disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan kedalam daftar tersendiri (Pasal 117).

4)Dalam daftar sebagaimana dimaksud Pasal 117, dibubuhkan pula cataan terhadap setiap piutang apakah menurut pendapat Kurator piutang yang bersangkutan diistimewakan atau dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaanlainnya, atau hak untuk menahan benda bagi tagihan yang bersangkutan dapat dilaksanakan (Pasal 118 ayat 1).

5)Apabila Kurator hanya membantah adanya hak untuk didahulukan atau adanya hak untuk menahan benda, piutang yang bersangkutan harus dimasukkan dengan daftar piutang yang bersangkutan yang untuk sementara diakui berikut catatan Kurator tentang bantahan serta alasannya (Pasal 118 ayat 2).

Dalam hal ini, Kurator memiliki tugas dan wewenang yang sangat luas sekali tentang pembagian harta boedel pailit, tetapi sangat sedikit sekali yang menyinggung masalah perlindungan hak buruh atau upah walaupun memang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) dan (2) yang menyatakan (1) pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan, (2) menyatakan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Tetapi dalam UUK ini tidak dibahas lebih rinci sampai sejauh mana pembayaran dan perlindungan pembayaran upah (hak normatif pekerja) apabila harta boedel tidak cukup untuk melunasinya.

Mengenai tanggung jawab Kurator (Pasal 78 ayat (2) UUK menyatakan bahwa Kurator bertanggung jawab terhadap Debitot Pailit dan Kreditor. Kemudian Kurator juga bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit (Pasal 72 UUK).

Sementara itu merujuk kepada Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan Pasal 95 ayat (4) dinyatakan “ Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku , maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”.

Dalam ketentuan Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat 3, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4. Ketentuan didalam pasal tersebut juga dinyatakan dalam Pasal 39 ayat 1 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:Pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya.

Ketika terjadi Pailit pembayaran upah pekerja/buruh dilakukan oleh Kurator yang dalam hal ini menggantikan posisi Perusahaan. Sehingga hak buruh dalam hal ini upah dan tunjangan lainnya menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan akanberubah menjadi utangyang didahulukan pembayarannya. Dan penjelasannya menyebutkan yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya. Dalam pasal 39 ayat (2) Undang –Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah ditentukan bahwa upah buruh untuk waktu sebelum dan sesudah pailit termasuk utang harta pailit artinya upah buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya.

Melihat kenyataan ini, antara perlindungan hak pekerja dalam UUK dan UU Ketenagakerjaan terdapat perbedaan yang signifikan, di dalam UUKupah buruh untuk waktu sebelum dan sesudah pailit termasuk utang harta pailit artinya upah buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya tetapi tidak jelas diatur utang yang lainnya ini utang yang mana dan bagaimana proses penyelesaiannya. Sementara dalam UU Ketenagakerjaan juga menyakan hal yang sama yaitu Pasal 95 ayat (4) , secara jelas dan gamblang menekankan bahwa upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya unutk melindungi dan menjamin keberlangsungan hidup dan keluarganya.

Dalam hal ini upah buruh menurutUU Ketenagakerjaan menjadi prioritas pertama yang harus dibayarkan tanpa syarat apapun karena hal ini langsung berhubungan dengan nasib dan hidup dari pekerja/buruh dan keluarga, sedangkan menurut UUK hal ini tidak berlaku mutlak dikarenakan adanya penggolongan kreditorberdasarkan Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP); dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU , yang membagi golongan kreditur menjadi :

1.Kreditor yang kedudukannya di atas kreditur saham jaminan kebendaan (contohnya utang pajak) dimana dasar hukum mengenai kreditur ini terdapat dalam Pasal 21 UU KUP jo Pasal 1137 KUH Perdata;

2.Kreditur pemegang jaminan kebendaan yang dianut sebagai Kreditur Separatis (dasar hukumnya adalah Pasal 1134 ayat 2 KUHPer). Hingga hari ini jaminan kebendaan yang diatur di Indonesia meliputi :

a.Gadai;

b.Fidusia;

c.Hak Tanggungan;

d.Hipotik Kapal.

3.Utang harta pailit, yang termasuk utang harta pailit antaralain sebagai berikut :

a.Biaya kepailitan dan fee Kurator;

b.Upah buruh, baik untuk waktu sebelum Debitur pailit maupun sesudah Debitur pailit (Pasal 39 (2) UUK, dan

c.Sewa gedung sesudah Debitur pailit dan seterusnya (Pasal 38 ayat (4) UUK.

4.Kreditur preferen khusus, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1139 KUHPer, dan Kreditur preferen umum, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1149 KUHPer; dan

5.Kreditur konkuren. Kreditur golongan ini adalah semua kreditur yang tidak termasuk Kreditur separatis dan tidak termasuk Kreditur preferan khusus maupun umum (Pasal 1131 jo Pasal 1132 KUHPer)

Dari lima golongan kreditur yang telah disebutkan diatas, berdasarkan Pasal 1134 ayat 2 jo.Pasal 1137 KUHPer dan Pasal 21 UU KUP, kreditur piutang pajak mempunyai kedudukan di atas kreditur separatis. Sehingga posisi upah buruh berada dibawah biaya kepailitan dan fee kurator, yang berartiburuh harus lebih sabar dna berada dibelakang setelah harta boedel pailit dipakai untuk membayar pajak, kreditur pemegang jaminan kebendaan (Kreditur separatis), biaya kepailitan dan fee Kurator. Sehingga dengan posisi seperti ini, seringkali harta boedel pailit tidak cukup untuk membayar hak atau upah buruh.

Disinilah letak permasalahannya ketika suatu perusahaan mengalami pailit dan Kurator bertugas melakukan pemberesan harta pailit lebih menekankan pembagian boedel pailit setelah pembayaran pajak kepada kreditur separatis, biaya kepailitan dan fee untuk dirinya sendiri. Sehingga jika harta boedel pailit dalam jumlah yang terbatas seringkali hak-hak buruh tidak bisa diakomodir oleh si Kurator itu sendiri. Dalam kondisi seperti ini, Kurator seringkali mengenyampingkan hak-hak/utang gaji pekerja/buruh tersebut dikarenakan Kurator hanya bertindak menurut aturan dalam UUK tanpa memperhatikan aturan yang ada pada UU Ketenagakerjaan. Padahal posisi Kurator tesebut sebenarnya hanya sementara untuk menggatikan posisi Perusahan karena dalam keadaan pailit. Artinya Kurator juga harus bertindak sebagai Perusahaan yang wajib melindungi dan mengakomodir hak-hak Pekerja/buruh seperti yang diamanatkan UU Ketenagakerjaan.Permasalahan seperti ini seringkali menimpa buruh-buruh yang notabene hanya mengandalkan hidupnya dari upah yang diterimanya dari pekerjaan tersebut. Sehingga hal ini harus menjadi perhatian Pemerintah bagaimana caranya menyikapi perlindungan hak-hak buruh pasca putusan pailit dan memastikan kepentingan dan hak-hakpekerja/buruh tetap terlindungi.

1.8 Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan :

1.Kewenangan dan tanggung jawab kurator pada aset perusahaan yang terkena pailit menurut UUK sangat luas dan memegang peranan yang sangat penting dalam rangka menggantikan peranan Perusahaan/Debitor untuk mengurus keberlangsungan Perusahaan/Debitor, aset, utang, piutang dan semua hak-hak dari para Kreditornya dan sekaligus bertanggungjawab kepada Debitor, Kreditordan Hakim Pengawas.

2.Hak-hak normatif pekerja/buruh pada perusahaan pailit menurut Undang-Undang Ketanagakerjaan bahwa Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 kali ketentuan Pasal 156 ayat 3, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat 4 dan harus didahulukan pembayarannya dari utang yang lain.

3.Hubungan kewenangan kurator dan tanggung jawab kurator terhadap hak normatif pekerja pada perusahaan yang terkena pailit sebenarnya telah jelas diatur dalam UU Ketenagakerjaan bahwa perusahanan bertanggung jawab dan melindungi hak-hak buruh, dimana ketika Perusahaan dalam keadaan pailit posisinya digantikan oleh Kurator, sehingga harus tetap bertanggung jawab dan melindungi hak-hak pekerja/buruh, walaupun dalam kenyataannya Kurator selalu bertindak dengan memakai aturan pada UU Kepailitan.

Saran :

1.Ketika Perusahaan jatuh pailit , Kurator seringkali bertindak hanya menggunakan aturan pada UU Kepailitan tanpa memperhatikan perlindungan hak-hak normatif pekerja/buruh menurut UU Ketenagakerjaan, yang sudah ada terlebih dahulu ketika Perusahaan dalam keadaan normal. Seharusnya Kurator harus bekerja dan bertanggunga jawab sesuai dengan amanat dari kedua Undang-Undang tersebut.

2.Ketika Kurator bekerja, dia dibebankan tanggung jawab atas kelalaian yang diperbuatnya, tetapi di UU Kepailitan tidak dijelaskan lebih lanjut tanggung jawab yang seperti apa yang sebenarnya dibebankan kepadanya, apakah tanggung jawab perdata, pidana atau tanggung renteng. Dan bagaimanakah pertanggung jawaban Kurator apabila hak-hak normatif pekerja tidak bisa diakomodirnya atau hal-hal lainnya. Perlu sekali aturan mengenai hal tersebut diatas dalam UU Kepailitan agar Kurator lebih profesional dalam melakukan tugasnya dan memastikan semua hak-hak kreditor dan hak pekerja/buruh dapat diselesaikan secara adil.

3.Untuk lebih memastikan hak-hak pekerja/buruh dapat terlindungi, seharusnya dalam UU ketenagakerjaan mencantumkan tentang tanggung jawab Kurator tentang perlindungan hak-hak pekerja dikarenakan Kurator dalam hal ini adalah menggantikan posisi perusahaan.

4.Dalam UUK ini tidak dibahas lebih rinci sampai sejauh mana pembayaran dan perlindungan pembayaran upah (hak normatif pekerja) apabila harta boedel pailit tidak cukup untuk melunasinya, perlu satu aturan hukum yang memastikan siapakah yang harus melunasinya, apakah pemilik perusahaan atau pemerintah sehingga hak-hak pekerja/buruh dapat terpenuhi.

5.Melihat kekacauan yang terjadi dalam perlindungan hak-hak pekerja/buruh ketika perusahaan mengalami pailit maka dalam upaya memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang lebih baik terhadap pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan pembentuk undang-undang memang perlu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi undang-undang yang terkait dengan pengaturan hak-hak buruh. “Diperlukan adanya peranan negara dalam bentuk kebijakan konkret untuk memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan.

Daftar Bacaan/Literatur:

1.Abdul R. Saliman, Hermansyah, Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007

2.AgusSudradjat,KepailitanDanKaitannyaDenganLembagaPerbankan,MakalahSeminar NasionalLembagaKepailitanDalamPembaharuan HukumEkonomiDiIndonesia, Fakultas HukumUniversitasKatolikSoegijapranata,Semarang,1996.

3.AliRido,BadanHukumDanKedudukanBadanHukumPerseroan,PerkumpulanKoperasi, YayasanWakap,Alumni,Bandung,1986.

4.Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan

Kerja, Raja Grafindo Persada, 2007.

5.Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul

Minnasota, 2009.

6.C.S.T.Kansil, HukumPerusahaanIndonesia,BagianI, PradnyaParamita,Jakarta,Cetakan Kelima,1995.

7.Frederick B.G Tumbuan,Pokok-PokokUndang-UndangTentang Kepailitan SebagaimanaDiubahOlehPerpuNo.1/1998,MakalahPelatihanKurator,DepartemenKehakiman,Jakarta,1998.

8.Gunawan Widjaja, Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, Forum Sahabat, 2009.

9.Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

10.Lili Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Alumni Bandung, 2010.

11.Mahkamah Agung RI, Himpunan PutusanYang Telah Berkekuatan Hukum Tetap Dalam Perkara Kepailitan, MARI, 2010

12.M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

13.PeterSalim,Slim’sNinthCollegiateEnglish–IndonesianDictionary,ModernEnglishPress, Jakarta,2000.

14.Shubhan, M. Hadi, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, Dan Praktik Di Peradilan,

Kencana, Jakarta, 2008.

15.SriRedjekiHartono, dalamHusniSyawali,eds., Kapita SelektaHukumEkonomi,Mandar Maju,Bandung,2000.

16.Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya

Pramita, Jakarta, 1982.

17.Sutan Remy Sjahdeini, Memahami Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta 2002

18.Sutantio, Retnowulan, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia

Yustisia, 1996.

19.USAID, Prosiding Seminar Nasional Kepailitan “Antisipasi Krisis Keuangan Kedua Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta, 2008.

20.VictorM. Situmorangdan Hendri Soekarso,PengantarHukumKepailitanDi Indonesia,Rineka Cipta,Jakarta,CetakanPertama,1994.

21.Waluyo, Bernadette, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, Mandar Maju, Bandung, 1999.

Undang-Undang :

1.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Perburuhan.

2.Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

3.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline