Lelaki itu bernama Wirya. Tinggal bersama istri dan anak gadisnya, di lereng sebuah bukit yang diberi nama bukit sendang.
Memang kebetulan di dekat bukit situ ada sendang yang selalu bersih airnya.
Konon dulu tempat ini terkenal angker, sehingga belum banyak penduduk yang berani tinggal di situ.
Namun pada siang hari bukit sendang selalu ramai, sebab semua kebutuhan air orang se desa berasal dari tempat itu.
Beberapa hari ini keluarga Ki Wirya nampak merasa gelisah.
"Mengapa kau bersedih? Bukankah kau akan segera punya menantu?"
Tanya mbah Minto saat ketemu di kebun. Mereka sama-sama menyiram tanaman.
"Ya tentu, tapi itu artinya anak gadisku satu-satunya juga akan meninggalkan kami karena ikut suaminya."
"Lho, kok begitu. Wirya Wirya! Sungguh kebangeten kamu ini. Memangnya anak gadismu kamu suruh nungguin kamu terus," kata mbah Minto sambil mengajak Wirya duduk, "terus siapa yang akan membuatkan cucu untukmu. Apa kamu tidak ingin seperti Marno, Sardi dan tetangga-tetangga kita yang lain itu."
Kini Wirya jadi terdiam. Nampaknya mengena juga kata-kata Mbah Minto.
"Jadi orang tua itu mbok ya jangan begitu. Sudah menjadi fitroh manusia bahwa kalau sudah dewasa semua harus menikah. Lalu punya keturunan. Lalu kita yang sudah tua ini kelak akan mati juga. Terus siapa yang akan meneruskan riwayat hidupmu kalau tidak anak dan cucumu," nampak Wiryapun masih diam.