Lihat ke Halaman Asli

Rusman

Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra

Perceraian dan Akibatnya Bagi Anak

Diperbarui: 19 Oktober 2018   23:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perkawinan dapat menumbuhkan rasa kasih sayang antara dua insan lain jenis serta bisa pula menambah kekeluargaan dan persaudaraan. Tumbuhnya rasa kasih sayang dari proses perkawinan dapat melahirkan rasa tanggung jawab yang besar dan toleransi antar manusia. 

Itulah sebabnya dalam masalah perkawinan ini negara juga merasa ikut memikul tanggung jawab. Tanggung jawab itu dikuatkan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Perkawinan.

Namun yang perlu diingat bahwa setiap peristiwa perkawinan memungkinkan terjadinya perceraian. Bedanya apabila perkawinan bersifat mempersatukan dua pihak yang semula belum terpadu, maka perceraian justru memisahkan sepasang suami istri bahkan dua keluarga yang semula bersatu. Oleh karena itulah baik dalam hukum negara maupun hukum agama perceraian dianggap sebagai perbuatan yang tercela, meskipun bukan merupakan larangan.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian. Adanya pergaulan bebas di kalangan pemuda banyak memicu angka perkawinan dini yang umumnya antara kedua insan belum siap secara mental, terutama dalam menghadapi segala tantangan kehidupan. 

Kurangnya lapangan pekerjaan juga dapat ikut memicu terjadinya angka perceraian, terutama bagi pasangan dini. Apalagi jika hal itu ditambah dengan beban ekonomi keluarga (pasangan dini) yang cukup berat. Misalnya antara sepasang insan tersebut sudah terlanjur terbiasa dengan hidup bergaya mewah sementara mereka belum memiliki perkerjaan yang tetap.

Di samping itu tidak jarang pula pasangan suami istri yang sudah cukup lama membina keluarga tetapi belum / tidak dikaruniai anak. Hal ini juga dapat memicu terjadinya perceraian keluarga. 

Situasi dan kondisi lingkungan sosial di mana keluarga itu tinggal, juga dapat memicu terjadinya perceraian keluarga. Dalam lingkungan sosial yang kurang baik itu biasanya orang cenderung berbuat sesuka mereka tanpa memperhitungkan kerugian yang diderita orang lain. Misalnya: mabuk-mabukan, pemakaian narkoba, pelecehan seksual / pemerkosaan, atau perbuatan asusila yang lain.

 Untuk menangkal (setidak-tidaknya memperkecil) terjadinya perceraian, masyarakat perlu digugah kesadarannya, salah satunya adalah dengan cara menunjukkan dampak negatifnya bagi unsur kejiwaan anak. 

Bagi keluarga yang sudah memiliki anak seharusnya memang harus dicegah terjadinya perceraian, sebab di samping ada suami dan istri ada pula pihak ketiga yang harus dipikirkan masak-masak, ialah anak. 

Anak di manapun selalu akan menjadi pihak yang paling dirugikan apabila terjadi perpisahan antara ayah dan ibunya. Dunia pendidikan juga akan menaggung akibat berikutnya, ialah berjuang agar secara jiwani anak tidak berlarut-larut menanggung beban beratnya. Oleh karena itu negara dan masyarakat memang perlu hadir dalam upaya mencegah terjadinya perceraian.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline