Jikalau kita pernah muda di era 80an, jelas Kho Ping Hoo tidak asing bagi kita. Seorang anak bangsa keturunan Tionghoa kelahiran Sragen, Jawa Tengah (1926-1994) ini sanggup menghipnotis para pembaca dengan cerita silat bersambung hingga bisa mencapai ratusan jilid. Meskipun Kho Ping Hoo tidak bisa berbahasa Mandarin sebagaimana kebanyakan keturunan Tionghoa lainnya, namun beliau sanggup mengadopsi latar belakang Tiongkok sebagai bahan cerita. Sekalipun fakta geografis dan historis Tiongkok terkadang tidak sejalan dengan cerita karangan, namun para pembaca tetap membiarkan dirinya larut dalam cerita silat yg dibuat seakan-akan tidak akan pernah habis-habisnya. Cerita terus berjalan dengan pendekar yg membawa pedang atau suling emas atau bahkan bambu untuk mengalahkan musuh-musuh jahat yg disertai dengan pesan psikologi Tionghoa.
Tercatat sudah hampir 120 judul cerita silat yg dihasilkan dalam kurun waktu 30 tahun. Anehnya, pemerintahan Orde Baru yg biasanya alergi dgn literatur Tionghoa terkesan membiarkan Kho Ping Hoo terus berkarya. Mungkin Kho Ping Hoo terlalu cerdik untuk meramu cerita silat bukan hanya dari Tiongkok semata, namun juga dengan terkadang bisa meramu sebuah cerita silat dengan latar belakang Sultan Mataram yg bernuansa Jawa pada masa Airlangga, dengan judul Pecut Sakti Bajrakirana.
Bahkan sinetron Angling Dharma di era 90an memiliki alur cerita yg tidak berbeda dengan karya Kho Ping Hoo yg berjudul Bu Kek Siansu, karya Kho Ping Hoo yg paling terpopuler hingga sekarang. Tapi entahlah.. yg jelas ketika menikmati cerita silat yg tebalnya minta ampun itu, kita sanggup terbawa arus hingga melupakan masalah politik atau bisnis atau masalah kehidupan lainnya.
Untuk dapat menikmati cerita silat Kho Ping Hoo di era 80an jelas tidak begitu susah. Penulis sanggup menghabiskan hampir semua karya Kho Ping Hoo dengan menyewa stensilan di toko dekat rumah hanya dengan menyisihkan uang jajan Rp. 500,- buat setiap jilidnya. Biasanya penulis harus bersaing siapa lebih cepat dengan penyewa lainnya, dan setelah itu harus segera mengembalikan stensilan ini sebelum kena denda karena jatuh tempo sudah tiba. Di antara karya Kho Ping Hoo yg paling penulis suka adalah Pendekar Super Sakti, yg menceritakan kehidupan Suma Han, pendekar bertangan satu dan beristri dua. Tokoh fiktif ini yg penulis paling suka dibandingkan dengan tokoh lainnya, seperti Bu Kek Siansu di judul Pusaka Pulau Es.
Zaman memang terus berubah dan berkembang. Sekarang kita sudah masuk ke Era Digital sehingga sangat mudah untuk memperoleh informasi hiburan atau informasi apa saja. Namun di hati penulis, Kho Ping Hoo adalah seorang penulis yg telah meninggalkan ratusan cerita fiksi pendekar silat yg sarat makna akan filosofi Tionghoa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H