Lihat ke Halaman Asli

Empati Yang Hilang

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak kan lari gunung dikejar, hilang awan nampaklah dia.  Artinya tiada kata terlambat.  Kita masih diberikan kesempatan untuk memperbaiki diri.  Melihat sesuatu yang lebih berarti dalam hidup ini. 

 

Masih ada waktu untuk berpikir, merenung dan berkontemplasi. Bahwa hidup ini bukan sekedar mampu mewujudkan apa yang kita mau.  Tapi jauh dari itu, hidup harus berarti buat sesama.  Hidup ini mestinya kita peduli bahwa masih ada diantara kita yang tidak mampu dan tidak tahu mau makan apa hari ini.  Jika kepedulian sudah tercabut dari hati kita, sepertinya kita perlu pertanyakan diri kita.  Dimana nurani?

 

Kenyataan-nya ada hampir 30 juta rakyat miskin yang ada di Indonesia saat ini.  Dan berapa lagi yang akan bergabung akibat kenaikan harga-harga.  Dan sadisnya dengan entengnya kita mengatakan "Ah, cuma 3 bulan saja kok ributnya, setelah itu mereka akan diam sendiri".  Yayaya.  Betul mereka diam memang, karena mungkin mereka sudah tidak mampu untuk bersuara lagi.  Tenaga mereka habis, mereka jatuh sakit dan akhirnya wallahu a’lam.  Jadi berhentilah mengatakan "naik 2000 saja ribut".    Berhentilah mengatakan “kerja dong, jangan malas!”.  Mereka bekerja, tapi dengan hasil yang sangat minim, yang buat makan hari ini pun tidak cukup.  Dan mereka harus berpikir lagi, dimana dapat makan sore ini dan besok?  Mungkin juga akan mencari makanan di tong sampah. 

 

Ada yang salah dengan cara  kita berpikir…

Menaikan harga BBM agar Indonesia lebih maju dan hebat dengan mengorbankan rakyat.  Sebuah anomali tingkat akut.  Siapa yang tahu kita akan hebat?  Bukankah jargon yang sama juga terucap diwaktu lalu?  Bukankah jargon perbaiki infrastruktur dan bantuan social terucap dan dilakukan diwaktu lalu? Pertanyaan-nya apakah jumlah rakyat miskin menurun? 

Itulah akibat terlalu banyak janji saat kampanye.  Janji yang tidak diukur dengan kemampuan.  Melahirkan pemaksaan terhadap sebuah keadaan.  Baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.  Melabrak semua rambu-rambu, Mengingkari janji yang satu untuk memenuhi janji yang lain, yang belum tentu juga akan dipenuhi dan menjadi kenyataan.

 

Ada yang salah dengan cara kita berpikir…

Kenapa materi menjadi ukuran kehebatan dan kemajuan.  Mengukur kemajuan sebuah bangsa dengan takaran materi melahirkan penindasan antara manusia yang satu terhadap manusia yang lain.  Jadi teringat pelajaran waktu SMP dulu.  Homo Homoni Lupus.  Manusia adalah serigala bagi manusia yang lain.  Itulah kenapa terjadi jurang yang terjal antara si kaya dan si miskin.  Itu semua akan terjadi jika materi menjadi tolak ukur kemajuan dan kehebatan manusia itu sendiri.  Ada yang lebih berarti dari itu.  Dan saya yakin kita semua tahu apa itu.  Kecuali hati kita sudah tertutup "kabut".

 

Quote:

Gunung terjal bisa didaki. Kesulitan hidup bisa dihadapi, namun kemunafikan tidak bisa didiami.  Kezholiman harus hilang di muka bumi. 

Jika suatu saat kita sudah mengerti, Insya Allah hidup ini akan lebih berarti. Untuk nanti menghirup udara surgawi.

 

Wallahu a’lam…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline