Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Kampung Minyak

Diperbarui: 19 Januari 2016   18:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi - daerah tambang (Shutterstock)"][/caption]Setiap hendak berziarah ke makam Ibu, Salikun akan selalu menghentikan mobilnya di depan areal tambang minyak Kandang Kepiting. Sambil berdiri mematung, matanya yang tertutup kaca mata hitam tidak pernah lepas menatap deretan gentong raksasa yang menyembul di balik pagar pembatas dengan jalan raya.

Jika ada seseorang yang bertanya, sedang apa Salikun di sana. Ia akan menjawabnya dengan lugas. “Aku menunggu Bapakku yang sedang berenang di gentong raksasa itu.”

Salikun masih mengingatnya dengan baik. Saat itu untuk pertama kalinya ia melihat bule dengan sangat jelas. Sebelumnya hanya tahu dari televisi yang biasa ia tonton di balai desa sepulang mengaji di langgar Kyai Rajab. Kulitnya putih dengan totol kemerah-merahan. Mata agak besar. Tubuhnya tinggi. Beberapa di antara mereka ada juga yang berambut hitam tapi bermata sipit, mirip Babah Liong Gempal.

Sejak kedatangan bule-bule itu, truk besar hilir mudik keluar masuk desa membawa berbagai macam bahan material pembangunan. Dan tepat setelah tiang raksasa dipancangkan, Desa Kandang Kepiting tidak lagi sepi. Desa di pinggir pantai yang sangat miskin dengan sengatan bau ikan laut yang khas itu berubah menjadi sibuk. Deru mesin berdesing-desing memekakkan telinga. Tanah dikeruk dalam-dalam membentuk parit yang menganga lebar, lalu pipa-pipa raksasa ditanam saling bersambungan. Entah berujung sampai ke mana.

Desa yang dulunya gelap kini berubah benderang, yang dulunya terisolir sekarang punya akses jalan ke mana-mana. Sepanjang mata memandang, terhampar kolam besi raksasa dengan pipa yang memanjang tak berujung. Kandang Kepiting yang dulunya tidak dikenal kini menjadi pusat perhatian karena di dalamnya mengandung jutaan liter minyak mentah yang siap diolah.

Waktu itu Salikun masih sangat kecil. Baru berumur sembilan tahun. Masih bercelana pendek dekil dan tidak pernah memaki baju jika ke mana-mana. Masih suka mandi di tepi pantai bersama teman-temannya. Masih suka menemui Hasnah untuk minta diajarkan menggambar. Ya, Hasnah, teman sekelasnya yang sangat pandai menggambar. Tahun lalu, Hasnah mewakili sekolah untuk ikut lomba menggambar tingkat kecamatan. Walaupun tidak mendapat juara, Salikun tetap bangga kepada Hasnah.

“Aku ingin sekali punya gambar gunung, tapi yang gambar harus kamu.” pinta Salikun kepada Hasnah suatu sore di beranda rumahnya yang teduh.

“Aku pernah menggambar gunung, tapi hasilnya jelek.”

“Jelek juga tidak apa-apa. Aku senang asal kamu yang gambar.”

“Aku belum pernah melihat gunung, Kun.”

“Kamu niru saja. Di buku-buku kan ada. Terus di televisi juga ada.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline