Lihat ke Halaman Asli

Aspek Kultural: Pemicu Utama GIG

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Apabila diamati, penderita Gangguan Identitas Gender (GIG) cenderung mengalami kesulitan dalam interaksi sosial ke sesama jenis. Ketidaksukaan untuk menjalin hubungan sosial ini dipengaruhi pelbagai faktor, diantaranya faktor kultural yang terjadi di masa lalunya. Sama halnya dengan konsep behaviorisme yang menganggap bahwa lingkunganlah yang mengkonstruksi perilaku individu. Dalam konteks ini, bila dianalisis melalui pendekatan behavioris dapat diketahui apabila si anak mempunyai pergaulan yang sangat dekat dengan lawan jenis, dibandingkan dengan sejenis. Maka hal demikian bisa menjadi indikasi atas terjadinya gangguan identitas gender ketika dewasa kelak.

Sebab itu, pendampingan yang signifikan dari tiap-tiap orang tua dalam memberikan pemahaman berkenaan dengan hubungan sosial diantara anak-anaknya. Kebiasaan berinteraksi dengan lawan jenis sewaktu anak-anak akan memberikan dukungan yang secara tidak langsung akan mengkonstruksi kepribadian si anak tersebut.

Whitbourne dkk (2010) mengklasifikasikan karakteristik diagnostik gangguana identitas gender dalam bukunya “Psikologi abnormal” sebagai berikut. Pertama, penderita kondisi ini (gangguan identitas gender) mempunyai stimulan yang lebih kuat untuk menjadi diri sebagaimana lingkungan yang mengkonstruk, ketimbang menjadi diri sendiri sebagaimana jenis kelamin yang terdapat pada dirinya. Kedua, untuk memahami gangguan ini diwaktu anak-anak, maka dapat dilakukan dengan empat pendekatan yakni sebagai berikut:


  1. Adanya keinginan yang kuat untuk menjadi (memiliki) jenis kelamin yang disenangi, terlepas dari keinginan untuk menjadi pribadi yang memang ditakdirkan untuk memilikinya. Keinginan tersebut, dapat direpresentasikan dengan melalui life style yang digunakan dan hubungan komunikasi dengan teman sejawat.
  2. Terjadi kebalikan dalam memakai pakaian, ini sebuah indikasi juga dapat dianalisis dari cara berpakaiannya. Misalkan, bagi yang pria, anak-anak cenderung senang dan gemar menggunakan baju yang dimiliki oleh kaum hawa. Begitupula sebaliknya, menggunakan lajur baju yang berbau maskulinitas.
  3. Keinginan yang kuat dan menetap bisa menjadi stimulus untuk menjadikannya memiliki kelamin yang berbeda. Keinginan tersebut bersangkut paut dengan peran lintas gender yang terjadi di sekitar mereka.
  4. Indikator yang seringkali menjadi stimulus yakni adanya hasrat yang menuntun mereka untuk melakukan peran sebagaimana dilakukan oleh lawan jenisnya. Hasrat tersebut direpresentasikan melalui permainan dan aktivitas yang menyangkut pautkan dengan streotip bertandaskan jenis kelamin. Semakin anak laki-laki dekat dengan perempuannya, yang menjadi mayoritas dalam daerah tersebut, maka anak laki-laki tersebut akan berpaling akan eksistensi dan aktivitas yang dimiliki.

Selain itu, untuk mengkatagorisasikan antara yang terjadi pada remaja dan orang dewasa dapat diketahui dengan analisis kepribadian berkaitan dengan jenis kelamin yang dimiliki. Rerata, dorongan untuk menjadi lawan jenis dengan berpandangan bahwa telah terdapat komunikasi yang salah berkaitan dengan jenis kelamin yang dimilikinya. Perlu diketahui pula, bahwa penderita gangguan ini bisa saja tertarik pada sesama jenis, lawan jenis, keduanya ataubahkan tidak sama keduanya.

Dalam konteks agama, persoalan ini tergolong pada individu yang tidak bersikap Qana’ah pada dirinya sendiri. Sudah jadi barang pasti, bahwa adanya ketidakyakinan kemampuan diri akan jenis kelaminnta. Maka dari itu, terdapat banyak pilihan mulai dari yang hanya menyerupai lawan jenis sepertihalnya mencari bantuan dokter untuk menonjolkan salah satu bagian tubuhnya, hingga dengan operasi yang cukup mahal untuk menyerupai wanita ataubahkan sebaliknya. Dari fenomena ini bisa menjadi indikator terkait ketidakmampuan dalam upaya beraktualisasi diri melalui pemenuhan apa yang dicita-citakan.

Seyogianya, dalam konteks ini orang tua ikut andil berkenaan dengan pergaulan dan lingkungan akan mengkonstruksi pribadi anak kelak ketika dewasa. Salah satu langkah konkritnya adalah dengan tidak mempergunakan pakaian anak perempuan bagi setiap anak laki-laki dan sebaliknya. Meskipun keinginan orang tua untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu tidak terpenuhi, alangkah baiknya untuk tidak menjadikan karakteristik (style) anak dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan karakteristik anak yang diinginkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline