Toponimi dapat diartikan sebagai salah satu teknik pemberian identitas pada suatu objek dengan menggunakan nama. Adapun arti secara etimologi adalah studi tentang sumber-sumber tempat berada yang berfokus kepada bahasa apa sehingga nama tempat itu di ciptakan.
Toponimi memuat kajian onomastik yang menyelidiki nama tempat. Toponimi dianggap isu yang krusial untuk diangkat karena masalah toponimi mengandung nilai historis, filosofis, dan estetis yang mencerminkan kebudayaan masyarakatnya. Permasalahan toponimi juga dianggap penting mengingat akhir-akhir ini banyak terjadi kesalahan dalam hal memaknai nama suatu tempat, nama badan usaha tertentu, dan lain sebagainya.
Dampak dari kesalahan ini memang tidak dapat dilihat secara langsung. Namun, jika hal semacam ini dibiarkan begitu saja, dapat mengakibatkan hilangnya nilai-nilai yang terkandung di dalam nama tersebut. Tujuan memberi nama pada unsur geografi adalah untuk identifikasi atau acuan dan sebagai sarana komunikasi antar sesama manusia. Dengan demikian nama-nama unsur geografi sangat terkait dengan sejarah pemukiman manusia.
Nama unsur geografi, atau disingkat "nama geografi" (geographical names) disebut "toponim" atau "toponimi. Secara harfiah berarti "nama tempat" (place names). Nama tempat tidak harus diartikan nama pemukiman (nama tempat tinggal), tetapi nama unsur geografi yang ada di suatu tempat (daerah), seperti sungai, bukit, gunung,pulau, tanjung, dsb.
Kajian toponimi ini sangat penting karena memiliki beberapa substansi diantaranya (1) karena kajiannya sangat prospektif untuk masa depan pembangunan indonesia khususnya dalam kajian peta maupun non peta. (2) Salah satu upaya pelestarian budaya karena selain mengkaji asal usul penamaan nama tempat juga sangat bermanfaat dalam upaya pelestarian sejarah dan peninggalan purbakala. Dapat merekonstruksi keadaan alam dan budaya pada masa lalu walaupun secara fisik telah hilang.
Dikutip dari dfunstation.com nama Bandung diyakini berasal dari kata "bendung" atau "bendungan". Dahulu, Sungai Citarum terbendung oleh lava dari letusan Gunung Tangkuban Parahu, yang menyebabkan wilayah antara Padalarang dan Cicalengka (sekitar 30 kilometer), serta antara Gunung Tangkuban Parahu dan Soreang (sekitar 50 kilometer) terendam air, membentuk sebuah telaga besar yang kemudian dikenal sebagai "Danau Bandung" atau "Danau Bandung Purba". Berdasarkan penelitian, danau ini secara perlahan mengering. Oleh karena itu, secara historis, nama Bandung berasal dari Danau Bandung.
Ada pula pandangan lain dikutip dari Kompas.com yang menyebutkan bahwa nama Bandung berasal dari jenis perahu yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II. Perahu tersebut terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan, disebut perahu bandung. R.A. Wiranatakusumah II mengarungi Sungai Citarum dengan perahu tersebut dalam upaya mencari lokasi baru untuk pusat pemerintahan, menggantikan ibu kota yang lama di Dayeuhkolot.
Secara linguistik, kata "bandung" identik dengan kata "banding" yang berarti berdampingan. Dalam bahasa Sunda, "ngabanding" berarti berdekatan atau berdampingan. Berdasarkan filosofi Sunda, kata "bandung" juga bisa dihubungkan dengan kalimat "Nga-Bandung-an Banda Indung," yang merupakan ungkapan sakral dan penuh makna karena mencerminkan nilai-nilai ajaran Sunda.
Secara filosofis, kata Bandung menggambarkan alam sebagai tempat bagi semua makhluk hidup maupun benda mati yang lahir dan tinggal di bumi, yang keberadaannya disaksikan oleh Sang Pencipta. Selain itu, Bandung juga dikenal sebagai lokasi penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika yang pertama kali diadakan pada tanggal 18 April 1955.
Kajian terkait toponimi suatu daerah perlu dilakukan karena sangat penting selain prospektif untuk masa depan pembangunan indonesia khususnya dalam kajian peta maupun non peta, juga sebagai salah satu upaya pelestarian budaya karena selain mengkaji asal usul penamaan nama tempat juga sangat bermanfaat dalam upaya pelestarian sejarah dan peninggalan purbakala.