[caption id="attachment_289595" align="aligncenter" width="572" caption="Karya Idrus bin Harun"][/caption]
BILA kita mencoba menelaah pengkultusan sosok-sosok tertentu, tidak akan jauh berbeda dengan apa yang pernah terjadi di Negara-negara yang menganut paham Komunis. Saat ini, yang masih nyata dapat dilihat adalah kehidupan di Negara Komunis yang berada di Timur Jauh, yaitu Korea Utara dengan pengkultusan bak dewa terhadap Kim Il Sung dan Kim Jong Il. Tapi, itu semua wajar terjadi. Sebab itulah salah satu ciri khas Komunisme. Apa jadinya bila hal demikian ikut dilakoni oleh penduduk yang berada di Provinsi yang konon kabarnya berlandaskan “Syari’at Islam”?
Ya, ini adalah kenyataan yang masih terjadi hingga kini. Sebagian masyarakat di Aceh sangat gemar memuji-muji, “melebih-lebihkan”, hingga “mengkultuskan” keturunan tertentu. Penulis jadi teringat sistem pembagian kasta di India. Dimana ada kasta yang memiliki tingkat kemuliaan dan kasta dengan tingkat kehinaan. Sistem kehidupan kaum penganut Hindu di India ini memang mulai tergerus, seiring perjalanan waktu dan tumbuh kembangnya politik demokrasi di Negara bekas jajahan Inggris tersebut. Namun, alangkah lucunya bila ada masyarakat yang mengaku menganut keyakinan Islam ikut mengadopsi pola yang “menindas” seperti itu. Karena dalam Islam, faktor pembeda antara satu orang dengan orang lainnya adalah pada iman dan taqwa. Dimana hanya Allah semata yang dapat menilainya.
Kehidupan sosial masyarakat di Aceh sebagian memang masih agak “mengherankan”. Di satu sisi mengaku “Islami”, tapi disisi lain menganut pola yang kenyataannya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di India. Sehingga muncullah istilah keturunan lamiet (budak) untuk masyarakat yang dianggap rendah dan keturunan “raja”, “ulama”, dsb. Dimana untuk mereka yang dianggap sebagai keturunan orang-orang mulia harus diperlakukan berbeda. Pertanyaannya, apakah selamanya orang mulia juga akan melahirkan keturunannya yang bersifat sama? Apakah keturunan Ulama juga akan ikut menjadi Ulama? Apakah keturunan orang “biasa” juga akan tetap “biasa-biasa” saja? Jawabannya bisa saja belum tentu. Karena dalam beberapa kenyataan justru ada orang baik yang melahirkan keturunan yang jahat.
Di Aceh memang masih tersisa warisan kehidupan sistem feodal yang gemar membeda-bedakan antara masyarakat satu dengan lainnya. Lihat saja bagaimana pemujaan terhadap tokoh-tokoh pahlawan atau pemberontak bagi pihak tertentu secara berlebihan dengan embel-embel keturunanini dan itu. Dan juga, berlaku sebaliknya bagi orang yang akan dihina habis-habisan karena faktor keturunan. Walau, generasi saat ini secara perlahan mulai meninggalkan pemikiran konyol tersebut. Apalagi dengan mekarnya kehidupan demokratis yang berlaku di Indonesia.
Untuk itu, perlu semacam proses perubahan ke arah yang lebih baik dan modern bagi sebagian masyarakat Aceh yang masih menganut pemikiran peninggalan kolonial Belanda. Sebab pengkultusan semacam itu, dahulunya digunakan oleh pihak penjajah untuk menyebarluaskan politik belah bambunya (devide et impera) untuk merusak persatuan dan kesatuan di Nusantara.
Ruslan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H