[caption id="attachment_322509" align="aligncenter" width="620" caption="Hukuman Cambuk di Aceh (tempo.co)"][/caption]
PENERAPAN Syari’at Islam di Aceh memang penuh dengan kontroversi. Salah satunya adalah hukuman cambuk yang dikenakan bagi para pelanggarnya. Secara legal yuridis, Provinsi Aceh memang telah diberikan kewenangan untuk memberlakukan Syari’at Islam yang tentunya berbeda dengan Provinsi-provinsi lainnya dalam tatanan sistem hukum nasional Republik Indonesia sebagai hak pelaksanaan otonomi khusus. Bahkan dalam Undang-Undang (UU) khusus Aceh terbaru yaitu, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, ada perluasan kewenangan pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Namun sangat disayangkan, hukum syari’ah hanya mengedepankan hukuman yang berkaitan penghukuman fisik yang menjurus pada penyiksaan seperti hukuman cambuk. Padahal Indonesia adalah negara yang menolak hukuman penyiksaan terhadap warganegara-nya. Dimana Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan. Dan, Provinsi Aceh tetap saja merupakan wilayah integral Republik Indonesia (RI) yang tidak serta-merta “lepas” dari ketentuan hukum Konstitusi RI yaitu, Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Sebab pada hakikatnya hukuman cambuk bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga terbuka lebar celah untuk dilakukannya gugatan.
Indonesia meratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1998. Pasal 1 Konvensi mengedepankan sebuah definisi mengenai tindakan-tindakan yang merupakan “penyiksaan” yang disepakati secara internasional. Pasal ini menetapkan bahwa:
“Penyiksaan berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan apa pun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”
“Unsur-unsur pokok” dari apa yang mendasari penyiksaan terkandung dalam Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan mencakup:
- Timbulnya rasa sakit atau penderitaan mental atau fisik yang luar biasa;
- Oleh atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat-pejabat Negara yang berwenang; dan
- Untuk suatu tujuan tertentu, seperti mendapatkan informasi, penghukuman atau intimidasi.
Namun, kenyataan di Aceh menunjukkan bahwa para pengkritik hukuman cambuk akan dianggap sebagai pihak yang melawan “Tuhan”. Begitulah asumsi sejumlah pihak di Aceh yang didominasi oleh kawanan fundamentalis. Hak Asasi Manusia (HAM) pun dianggap sebagai produk Barat yang mesti ditentang habis-habisan. Para fundamentalis itu mungkin lupa bahwa salah satu tujuan dari Nabi Muhammad Saw sendiri adalah memperjuangkan HAM yakni, mengangkat harkat dan martabat perempuan yang telah lama ditindas oleh “tradisi Arab”, yang sering disebut sebagai zaman jahiliyah (kebodohan). Sehingga sedikit banyaknya dapat disimpulkan bahwa kawanan fundamentalis di Aceh sedang menggiring masyarakat untuk meniru “tradisi Arab” di era jahiliyah. Bila ada pihak yang melayangkan kritikan, maka langsung distigma “melawan Tuhan”. Duh, han ek ta khem!
Ruslan Jusuf
Sumber gambar: tempo.co
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H