Lihat ke Halaman Asli

Partai Lokal Hasilkan Politisi Bebal

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413040802604397930

Setelah melihat peran partai lokal yang keberadaannya khusus diberikan kepada provinsi Aceh dalam ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk implementasi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh melalui PP No. 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh, maka dapat disimpulkan bahwa partai lokal hanya menghasilkan banyak politisi bebal. Betapa tidak, pelantikan anggota parlemen provinsi Aceh pada 1 Oktober 2014 lalu ternyata hampir separuhnya dihiasi oleh orang-orang yang tingkat pendidikannya lulusan sekolah menengah atas (SMA). Bahkan jumlahnya meningkat dibandingkan anggota parlemen periode sebelumnya (2009-2014).

[caption id="attachment_328552" align="aligncenter" width="450" caption="Salah satu partai lokal di Aceh (waspada.co.id)"][/caption]

Bila mengacu pada aturan hukum, anggota parlemen yang lulusan SMA dan sarjana maupun pendidikan yang lebih tinggi berhak untuk dipilih dan memilih serta mewakili konstituennnya di parlemen. Hanya saja dalam kasus di Aceh, rendahnya tingkat pendidikan para anggota dewan dapat dilihat dari sejumlah produk hukum (qanun/perda) yang tidak berkualitas, tidak menyentuh subtansi kebutuhan masyarakat secara universal dan jelas-jelas bertentangan dengan undang-undang nasional. Misalnya: qanun bendera dan lambang Aceh; qanun lembaga wali nanggroe; dan qanun jinayat – yang bertentangan dengan semangat bhinneka tunggal ika ­– yang jelas-jelas berbenturan dengan sejumlah aturan hukum nasional.


Dari perspektif politik, bebalnya sejumlah politisi di Aceh selama pasca-tsunami, tidak terlepas dari kehadiran partai lokal. Pemerintah Indonesia sudah seharusnya merevisi kembali aturan hukum yang mengizinkan pembentukan partai lokal. Kesepakatan perdamaian Aceh saat ini telah disalahgunakan oleh kelompok tertentu di Aceh dan dijadikan sebagai pembenaran untuk membodohi masyarakat. Kini sudah menjadi kenyataan bahwa kelompok tertentu telah membentuk sebuah partai lokal yang para kadernya terdiri dari para demagog (provokator) yang sering menjadikan Jakarta (pemerintah pusat) sebagai kambing hitam dan terus-menerus membodohi masyarakat Aceh, yang hingga kini belum banyak mendapat manfaat semenjak kelompok tertentu berkuasa di provinsi ujung Sumatera ini. Sebaliknya, angka kemiskinan malah makin melonjak.

Khusus menyangkut dengan UU Pemerintahan Aceh yang menjadi regulasi khusus, Pemerintah Pusat jangan terlalu memberi ruang gerak bagi kelompok tertentu untuk leluasa mengobok-obok wilayah Aceh. Sebab sudah tentu masyarakatlah yang akan menjadi korban. Alasan kelompok tertentu yang menginginkan UU Pemerintahan Aceh sesuai “selera” mereka dengan mengatasnamakan rakyat Aceh, harus diwaspadai oleh Pemerintah Pusat. Sebab lagi-lagi, regulasi yang dimaksud jangan sampai tidak menyentuh pokok persoalan substantif di dalam masyarakat. Bukankah suatu aturan hukum harus memberikan manfaat bagi seluruh warga negara? Bukan hanya menampung keinginan segelintir orang saja.

Oleh karena itu, agar pemerintah pusat tidak terus-menerus dihadapkan dengan sejumlah masalah di Aceh yang sengaja dimunculkan oleh kelompok tertentu, maka pemerintah pusat harus berani bersikap tegas terhadap setiap produk hukum yang dihasilkan oleh parlemen provinsi Aceh dan bertindak cermat dalam menindaklanjuti keinginan kelompok tertentu di Aceh. Sebab, kelompok yang dimaksud mempunyai agenda terselubung yang sangat merugikan masyarakat Aceh. Termasuk sejumlah rancangan regulasi yang berkaitan dengan UU Pemerintahan Aceh yang dikhawatirkan hanya dijadikan sebagai ruang bagi kelompok tertentu memenuhi kepentingannya tanpa banyak bermanfaat bagi masyarakat.

Ruslan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline