Lihat ke Halaman Asli

Rushans Novaly

TERVERIFIKASI

Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

[Ketapels Berdaya] Cafe Fingertalk, Menyemai Asa di Dunia Senyap Para Penyandang Tuli

Diperbarui: 17 April 2016   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jumpa Blogger, Dissa sedang memberikan penjelasan tentang cafe fingertalk | Sumber : Rushan Novaly"][/caption]Laki laki ini biasa dipanggil Abeh. Usianya masih muda , perkiraan saya antara 25-30 tahun. Kulitnya gelap terbakar matahari. Maklum saja laki laki ini setiap hari bekerja mendorong gerobak air. Dengan peluh keringat ia berkeliling mencari orang yang membutuhkan air di kompleks perumahan saya.

Jangan bayangkan , komplek perumahan saya ini memiliki jalan yang rata dan beraspal. Jalan  Kompleks perumahan saya berbatu batu . Kontur jalan yang akan menyiksa Abeh ketika mendorong gerobak air yang tidak ringan.

Suaranya parau tak jelas. Untuk berkomunikasi Abeh menggunakan bahasa isyarat yang telah menjadi kebiasaannya saja. Tak ada kode gerakan resmi. Yang penting Abeh mengerti. Walau sering kali terjadi salah pengertian  komunikasi, Abeh tetap bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Selain mendorong air, Abeh kadang mendapat pekerjaan kasar serabutan dari beberapa warga perumahan. Kadang memotong rumput, membersihkan saluran air, mengecat rumah atau apa saja yang masih bisa dilakukan Abeh. Bayarannya juga se-ikhlas yang menyuruh, tak ada tarif.

Abeh adalah penyandang Tuli , biasa diberi istilah tuna rungu . istilah Tuna rungu ternyata tak disukai para penyandang Tuli . Dalam acara “Komunitas Tunarungu Jumpa Blogger Ketapels “ yang diadakan pada tanggal 10 April 2016 di Cafe Fingertalk di kawasan Pamulang timur, Tangerang selatan , baru saya tahu bila sebutan “Tuli” lebih disukai dari pada sebutan “Tunarungu”

Abeh adalah salah satu potret buram tentang penyandang Tuli di Indonesia . Hidupnya pas pasan . Penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari hari. Abeh telah memiliki seorang anak  yang normal dari pernikahannya dengan seorang wanita yang juga  penyandang tuli.

Penyandang Tuli seperti Abeh memang menjadi kaum minoritas yang terisisih. Apalagi bila terlahir dari orangtua yang berekonomi  lemah dengan pendidikan rendah, penyandang tuli biasanya tak mendapatkan pendidikan yang layak, bahkan banyak diantara mereka tak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Ironis.

Rata rata penyandang tuli harus bertahan hidup dari belas kasihan orang lain, sebagian menjadi peminta minta, sebagian bekerja kasar serabutan  , sebagian malah menjadi korban kekerasan dan tindakan tidak manusiawi dari orang orang normal yang tidak bertanggung jawab.

Saya masih ingat sekali ketika saya remaja, ada seorang penyandang tuli yang selalu jadi bahan bully anak anak normal lainnya. Namanya Tiwi. Karena tidak mendapat pendidikan dan perlakukan yang semestinya Tiwi nampak seperti orang idiot. Kemana mana ia di ledek , dijahili bahkan dihina.

Saya ketika itu cukup marah dengan kelakuan teman teman saya ini. Tapi apalah daya, saya yang hanya seorang diri dan tak mampu menolong keadaan Tiwi . Setiap pulang sekolah saya melihat Tiwi duduk menyendiri dipinggir jalan. Kadang duduk dihalaman rumah orang yang biasanya suka memberi sekedar makanan.

Ibu saya biasanya memberikan pakaian kepada Tiwi, walau bukan pakaian baru tapi masih layak pakai. Kadang juga makanan atau uang.  Setelah saya dewasa saya tak tahu kemana Tiwi , ia kabarnya dibawa sanak saudaranya pulang kampung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline