Lihat ke Halaman Asli

Rushans Novaly

TERVERIFIKASI

Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Cerpen | Menunggu Hujan

Diperbarui: 24 Maret 2017   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ( sumber : 8Track.com)

Hujan untuk sebagian orang seperti bencana kecil. Apalagi hujan yang turun dengan deras dalam waktu yang cukup lama. Genangan dan banjir menjadi cerita sehabis hujan.

Sebagian lagi mengutuki hujan dengan keluhan karena rezekinya akan terhambat. Tak bisa berjualan karena pembeli menghilang. Atau malah tak ada tempat berjualan karena banjir menghadang.

Arini, gadis kecil yg duduk dibangku SD   berdiri cemas. Menatapi langit yang gelap. Payung hitam ditangannya hampir menyamai tingginya. Payung hitam itulah lengan rezeki yang ia miliki. Untuk mengais rezeki .

Mulut Arini komat kamit, berdoa agar Tuhan menurunkan hujan malam ini. Hujan yang lebat seperti yang diperkirakan berita TV kemarin sore.  Berita cuaca menjadi berita yang selalu ditunggu Arini.

Arini berdiri di pojok  stasiun sudimara. Menepi dari  penumpang kereta yang keluar dari celah pintu . Arini hanya menunggu , sementara suara gemuruh langit mulai terdengar, tak lama butir butir air menetes. Gerimis lalu berubah menjadi lebat. Kilauan cahaya langit dengan suara guntur susul menyusul.

Arini tersenyum, membayangkan ia akan mendapatkan uang untuk membeli obat batuk ibunya. Sudah tiga hari ibunya batuk. Hanya karena kemiskinan , ibu tak mampu berobat. Padahal ibu berjualan di depan puskesmas. Menawarkan kue kue kecil untuk para pedagang pasar , tukang ojek dan pekerja kasar.

Tak banyak uang yang bawa ibu. Hanya cukup untuk makan sehari hari. Menghidupi dua anaknya, Arini bungsu,  kakaknya mengalami down syndrom. Tak banyak yang bisa dikerjakan kakaknya, selain duduk menatap langit langit dengan mata kosong.

Arini mulai beraksi , berdiri dibawah hujan dengan payung terkembang sempurna. Hujan lebat membuat penumpang kereta tertahan, stasiun sudimara nampak penuh. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang mengacuhkan keberadaan Arini.

Wajah wajah penumpang kereta lebih sibuk melihat gadget. Arini mulai menawarkan jasa payungnya , satu per satu penumpang ia tawari. Tak ada yang bergeming. Hanya gelengan kepala tanda penolakan. Arini tak putus asa.

Hujan yang lebat mulai mereda. Butir butir air yang turun dari langit terus menyusut. Langit mulai cerah. Arini belum mendapatkan satupun orang yang menggunakan jasanya. Tak sepeser uang yang ia dapat. Sementara hujan sebentar lagi usai.

“Bu, payungnya, mba , payungnya,  kakak, payungnya.” Suara Arini lirih dengan wajah memelas. Bila hujan benar benar reda dan penumpang kereta berhamburan pulang maka sia sialah usahanya. Padahal Arini harus berjalan kaki dari rumahnya yang tidak dekat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline