[caption caption="Sumber : Liputan6.com"][/caption]Di laman Kompasiana, Ahok dan pilkada DKI Jakarta bagai magma berita. Bertubi tubi berita tentang Ahok silih berganti. Ada yang pro dan ada yang kontra. Ada yang Teman Ahok . Ada yang Bukan Teman Ahok. Bergantian saling serang.
Keseruan bukan saja di artikel, tapi jauh lebih seru di ruang komentar. Keadaannya mirip perang komentar. Ada yang merasa paling loyal, paling tahu , paling mengerti . Ada pula yang sudah sampai posisi talak tiga, bencinya sudah ada diubun ubun, semuanya negatif , pokoknya salah ya salah.
Dari judul artikel saja sudah bombastis. Panjang . Judul artikel bisa jadi satu paragraf utuh. Wuih, pokoknya tampil trengginas. Motifnya ? Silahkan ditebak saja. Saya menduga , ada sebagian yang memang loyalis tulen, ada yang haters tulen, ada yang cari momen, ada yang tukang komen, ada yang cuma main main, ada yang ngarep dapat ‘ramen’. Saya tidak berhak men-judge. Lha wong sekarang era keterbukaan , bebas berkomentar, bebas berpendapat. Tapi ya harus bertanggung jawab. Tidak serampangan apalagi mencoba menebar kebencian.
Kalau itu yang jadi motif , tentu ada imbalannya. Hukum yang akan berbicara. Hati hati dan bijak dalam berkomentar. Ingat , siapa yang menabur angin akan menuai badai. Kalau masih ingat frasa ini dapat saya pastikan anda sudah berumur.
Ahok memang sebuah fenomena. Laki laki yang berasal dari Belitung ini bukan saja membuka mata para aparat birokrat selama ini, tapi menghentak jagat perpolitikan. Manuvernya memang membuat berita menjadi sensasi . Ahok memang berani , harus diakui. Ahok tanpa tedeng aling aling kalau bicara memang harus diakui. Gaya Ahok memang berbeda dengan gubernur DKI Jakarta sebelumnya.
Masalah berbeda , siapapun bisa berbeda pendapat. Ahok punya gaya. Itu yang membuat (sebagian) masyarakat DKI Jakarta ngotot masih ingin dipimpin Ahok. Mengenai ini saya mencoba iseng melakukan riset kecil ketika saya mampir di Kemayoran , Jakarta pusat . Sebagian orang yang saya tanyai masih ingin Ahok sebagai gubernur. Namun, sebagian juga merasa kurang sreg dan ingin Ahok diganti . Alasanya macam macam. Tapi dari hasil riset iseng ini saya bisa menarik kesimpulan : Sebagian masyarakat DKI Jakarta masih ingin Ahok menjadi Gubernur sebagin yang lain tidak.
Tentang berapa komposisinya , saya tak akan menjelaskan. Karena akan membuat artikel ini dituduh tidak netral . Karena kalau saya sampaikan juga ini bukan riset ilmiah, respondennya tak memenuhi syarat pengambilan sampling dari jumlah populasi yang ada di wilayah penelitian.
Saya hanya fokus pada laman Kompasiana. Apa yang terjadi di Kompasiana bisa jadi dinamika kontestasi pendapat tentang sebuah issu menarik. Dulu, ketika Pilpres wajah Kompasiana begitu ramai. Memang ada dominasi dukungan terhadap salah satu pasangan calon. Kalau saat ini keadaanya lumayan berimbang.
Saya cuma berharap , ketika menyukai seseorang misal : calon gubernur, tokoh partai , atau tokoh terkenal tertentu janganlah berlebihan sehingga terkesan peng-kultusan individu, seperti ‘Tuhan’ yang harus dibela mati matian tanpa peduli benar atau salah , Pun ketika membenci seseorang, jangan pula orang tersebut dianggap ‘penjahat perang’ yang harus dikirim kedalam neraka jahannam yang paling dalam. Seolah olah orang itu tak punya sisi lain yang mungkin harus diapresiasi. Sewajarnya saja, gunakan rasionalitas, gunakan pikiran yang jernih. Bisa jadi orang yang anda bela mati matian dikemudian hari malah menjadi musuh besar. Bisa pula orang yang anda benci disuatu hari kelak akan menjadi pembela yang akan menolong anda. Mungkin anda tak percaya , tapi ‘waktu’ akan membolak balikan keadaan. Buktikan saja kalau tak percaya.
Perbincangan di Pasar Cikuya
Sejatinya artikel ini saya tulis karena sebuah perdebatan antara tiga pedagang di pasar Cikuya. Kalau perbincangan ini terjadi di pasar Senen atau pasar Kebayoran tak menarik bagi saya. Tapi ini terjadi di pasar kecil yang letaknya sekitar 87 KM dari pusat kota Jakarta.