Berbicara tentang pembelajaran tentu tidak bisa lepas dari metode pembelajaran. Pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan kemampuan. Ketika berfikir informasi dan kompetensi apa yang dimaksud oleh siswa, maka pada saat itu juga guru semestinya berfikir strategi apa yang harus dilakukan agar tujuan yang dinginkan tercapai secara efektif dan efesien. Ini sangat penting untuk dipahami oleh setiap guru, sebab apa yang harus dicapai akan menentukan bagaimana cara mencapainya. Metode pembelajaran seperti yang disampaikan oleh Basyiruddin Usman (2002) adalah jalan atau cara-cara yang digunakan pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Seorang guru dituntut untuk menguasai berbagai metode pembelajaran. Hal ini agar apa yang dilakukannya dapat memberikan nilai tambah bagi siswa. Selanjutnya yang tidak kalah penting dari proses pembelajaran adalah hasil belajar yang optimal atau maksimal.
Pelajaran sejarah adalah salah satu pelajaran yang menekankan aspek kognitif dan afektif pada siswa. Menjadi harapan setiap guru selama proses pembelajaran siswa bisa aktif. Namun dalam praktik di lapangan masih banyak guru sejarah yang masih menggunakan metode pembelajaran konvensional yaitu ceramah. Menurut Jamarah (1996), sejak jaman dulu model ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan. Freire (1999) memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan ber “gaya bank”. Penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal. Hal inilah yang memunculkan anggapan bahwa sejarah adalah salah satu mata pelajaran yang membosankan. Kecenderungan yang muncul adalah persepsi bahwa sejarah itu tidak memiliki manfaat atau kegunaan. Selain itu penempatan jam pelajaran sejarah di jam-jam akhir juga menambah keinginan siswa untuk tidak mengikuti pelajaran sejarah. Dan secara nyata penulis merasakan sendiri ketika mengajar di sekolah. Berdasarkan angket yang penulis berikan pada siswa, sebagian besar menyatakan tidak tertarik atau biasa saja pada pelajaran sejarah, karena penempatan waktunya yang kurang mendukung (jam terakhir).
Pada dasarnya, menurut asumsi penulis, minat belajar siswa terhadap suatu mata pelajaran ditentukan oleh beberapa hal yaitu potensi siswa, lingkungan sekitar dan pola mengajar guru. Potensi siswa merupakan salah satu faktor yang menjadikan suka atau tidaknya siswa terhadap suatu mata pelajaran. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa bawaan yang dimiliki oleh siswa akan menentukan sikapnya terhadap mata pelajaran. Jika siswa itu rajin dan tekun menghadapi rumus-rumus, maka ia pasti akan senang terhadap mata pelajaran yang ada rumusnya. Begitu juga jika siswa memiliki potensi untuk berbicara di depan kelas, ataupun berbicara untuk bertanya dan menjawab, maka ia akan lebih menyukai pelajaran yang lebih banyak kesempatan untuk berbicaranya. Lingkungan sekitar yaitu teman sepergaulannya di sekolah (lebih dekat lagi mungkin teman sebangku). Disadari atau tidak, seorang teman dapat mempengaruhi minat belajar seorang siswa. Pola mengajar guru yaitu strategi atau metode mengajar. Kejenuhan siswa terhadap mata pelajaran dapat disebabkan oleh pola mengajar gurunya. Guru dengan metode mengajar yang monoton tentu akan kurang disenangi oleh siswa. Bandingkan dengan pelajaran yang mengajak siswa untuk berfikir, seperti pelajaran matematika misalnya. Meskipun metode yang digunakan adalah ceramah, tetapi siswa diajak untuk berfikir dalam mencari hasil sebuah soal. Sehingga siswa merasa terlibat secara langsung dalam proses pembelajaran. Dari permasalahan di atas, ada dua hal yang menurut penulis menjadi faktor penyebab siswa kurang berminat pada pelajaran sejarah, pertama, guru kurang menarik dalam menyampaikan materi dan kedua, siswa tidak terlibat dalam pembelajaran.
Kearifan Lokal
Salah satu upaya untuk lebih mendekatkan siswa pada pembelajaran sejarah adalah memasukkan unsur-unsur kearifan lokal. Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal menurut filsafat.ugm.ac.id, terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible). Kearifan lokal yang berwujud nyata (Tangible), meliputi tekstual, bangunan/arsitektural, dan benda cagar budaya/tradisional (karya seni). Kearifan Lokal yang tidak berwujud (Intangible) disampaikan secara verbal dan turun temurun yang dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui petuah atau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan secara oral/verbal dari generasi ke generasi. Misalnya kearifan lokal yang mengandung etika terhadap lingkungan.
Integrasi Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Pembelajaran Sejarah
Nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar sekolah dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah. Salah satu aplikasi pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah misalnya mengangkat batik yang merupakan salah satu kearifan lokal tangible Solo. Siswa diajak untuk mengkaji lebih dalam tentang batik, mulai sejarah, perkembangan, dan jenis-jenisnya. Agar lebih terlibat dalam proses pembelajaran siswa ditugaskan untuk mengunjungi pusat batik di Laweyan atau Kauman. Sehingga mereka bisa mendapatkan informasi yang valid seputar batik. Selanjutnya siswa mempresentasikan hasil kunjungannya di depan kelas. Contoh lain misalnya mengangkat tentang kearifan lokal masyarakat Jawa yang intangible berupa unen-unen, yaitu ungkapan berisi wejangan, misalnya nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Siswa bisa mengunjungi Museum Radyapustaka untuk mendapatkan informasi tentang arti dari unen-unen tersebut. Selanjutnya hasil penelusuran lapangan disampaikan dalam diskusi kelas. Contoh di atas merupakan salah satu cara mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah. Dengan diintegrasikannya nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran sejarah diharapkan siswa memiliki pemahaman tentang kearifan lokalnya, menimbulkan kecintaan dan bangga terhadap budayanya sehingga rasa nasionalismenya juga semakin kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H