Lihat ke Halaman Asli

Pilkada Tanpa Dinasti Politik

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinasti politik pada umumnya dimaknai sebagai pembagian kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan yang hanya terpusat pada sekelompok orang atau keluarga elite tertentu. Dalam bentuk yang agak halus dinasti politik sering muncul dengan cara mendorong sanak keluarga kelompok elite tertentu untuk terus memegang kekuasaan secara demokratis.

Sekarang ini, di dalamUndang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pilkada, Pemerintah mengatur pembatasan politik dinasti sedemikian rupa, agar terhindar uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Bab III Pasal 7‎ huruf (q) disebut syarat calon kepala daerah adalah "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. "‎Yang dimaksud dengan 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana' adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan,"

Jadi calon kepala daerah yang punya hubungan darah dengan calon incumbent bisa ikut Pilkada asalkan ada jeda satu periode alias lima tahun dari incumbent yang dimaksud. Namun tak akan jadi masalah bila calon yang bersangkutan maju Pilkada di wilayah lain, misalnya kabupaten/kota lain, meski calon yang bersangkutan memiliki hubungan darah dengan kepala daerah incumbent.

Hal ini untuk menghidari adanya politik oligarkhi yang mengakibatkan kekuasaan hanya terpusat kepada kerabat atau keluarga yang ada di daerah. Dinasti politik mengarah pada terbentuknya kekuasaan yang absolut. Bila jabatan kepala daerah misalnya, dipegang oleh satu keluarga dekat yang berlangsung lama secara terus menerus, misalnya setelah 10 tahun menjabat, kemudian digantikan oleh istrinya selama sepuluh tahun lagi, kemudian oleh anaknya dan seterusnya, maka akan muncul fenomena kekuasaan yang turun temurun. Kekuasaan absolut yang rawan korup akan terbentuk, sebagaimana adagium politik terkenal dari Lord Acton: “Power tends to corrupt, and Absolute Power Tends to Corrupt Absolutely” (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut akan cenderung korup secara absolut pula).

Dinasti politik pada masyarakat Indonesia yang pendidikan politiknya relatif kurang dan sistem hukum serta penegakan hukum (law enforcement) yang lemah, maka akan menyebabkan proses kontestasi politik menjadi tidak adil. Keluarga incumbent yang maju dalam kontestasi politik, seperti Pilkada, akan dengan mudah memanfaatkan fasilitas pemerintah dan jaringan incumbent untuk memenangkan pilkada. pembatasan dinasti politik diarahkan untuk meningkatkan derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi Pemilihan Umum maupun Pemilihan Kepala Daerah.

Menurut penulis dalam konteks Indonesia, munculnya dinasti politik adalah sebuah keniscayaan. Ini diakibatkan karena sistem demokrasi kita masih banyak dipengaruhi oleh konsep demokrasi liberal yang masih menganggap bahwa inti dari politik adalah hak-hak individual, sehingga hak politik seseorangdipandang sebagai bagian dari hak individu. Bahkan dalam konstitusi Pasal 27 ayat 1 UUD NRI 1945:“segala warga negara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”Begitu pun dengan Pasal 28 D ayat 3 UUD NRI 1945:“setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Secara etika politik tentunya dinasti politik ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, dimana dalam hal ini dinasti politik muncul sebagai musuh demokrasi itu sendiri karena peran publik sama sekali tidak dipertimbangkan. Kata rakyat, Demokrasi, dan kata Politik dalam konstitusi kita pada dasarnya merujuk pada hal yang sama yaitu untuk kesejahteraan umum atau kepentingan orang banyak. Artinya politik dalam faham ketatanegaraan kita secara prinsipil harus bersumber dan sekaligus diarahkan untuk kepentingan umum/kesejahteraan umum.Jadi secara tegas Politik dinastiberlawanan dengan prinsip demokrasi karena didalamnyayang menjadi dasar dan tujuan adalah kepentingan pribadi (private interest). Contoh kasus Dinasti Ratu Atut di Banten, publik sudah dapat membuka mata betapa politik dinasti hanya melahirkan koruptor-koruptor baru, ini karena kewenangan yang dimiliki begitu besar akan tetapi pihak yang seharusnya mengawasi malah ikut bersama-sama melakukan korupsi karena adanya hubungan kekerabatan antara eksekutif dan legislatif.

Oleh karena itu, menurut penulis pembatasan politik dinasti dalam UU Pilkada tidak dapat dikatakan melanggar hak konstitusional warga Negara karena pada prinsipnya hanya bersifat mengatur bukan mematikan atau mencabut hak politik seseorang. Dan hal ini sesuai dengan Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 Yang menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dengan pembatasan dinasti politik dalam UU Pilkada diharapkan dapat membawa perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan didaerah yang salama ini hanya dikuasai oleh kelompok oligarkhi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline