Lihat ke Halaman Asli

Pilkada oleh DPRD, Demi Demokrasi atau Demi Kekuasaan?

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik



Jumat dini hari tepatnya Tanggal 26 September 2014 sekitar Pukul 02.30 WITA, sidang paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Pilkada menjadi undang-undang. Salah satu hal krusial yang menjadi perdebatan banyak pihak dalam UU Pilkada tersebut yaitu Pelaksanaan Pilkada oleh DPRD dan dihapusnya Pilkada Langsung. Dengan begitu, DPRD lah yang nantinya memilih kepala daerah. Bukan lagi rakyat, seperti yang sudah berlangsung selama 9 tahun terakhir ini.

Nuasa kepentingan politik pun cukup kental dalam proses pemungutan suara yang menghasilkan jarak suara yang sangat jauh, yaitu 135 suara untuk yang memilih pilkada langsung dan 226 suara untuk yang memilih pilkada melalui DPRD dari 361 anggota DPR yang bertahan hingga dini hari mengikuti rapat paripurna. Suara untuk pilihan RUU Pilkada yang memuat opsi pilkada langsung disumbangkan oleh Partai Golkar (11 suara), PDIP (88 suara), PKB (20 suara), Hanura (10), dan Demokrat (6 suara). Sedangkan suara yang menginginkan RUU Pilkada memuat opsi pilkada melalui DPRD disumbangkan oleh Partai Golkar (73 suara), PKS (55 suara), PAN (44 suara), PPP (32 suara), dan Gerindra (22 suara).

Kondisi akan berubah seandainya fraksi partai demokrat tidak walk out dalam sidang paripurna. Padahal sejak awal fraksi partai demokrat menyatakan mendukung pilkada langsung jika 10 syarat yang di ajukan dapat diterima dalam sidang paripurna. Hal inilah yang melatarbelakangi aksi walk out fraksi partai demokrat, sehingga mengakibatkan opsi pilkada langsung kalah jumlah suara anggota DPR yang mendukung Pilkada oleh DPRD.

Menurut penulis, apa yang dilakukan Fraksi demokrat sangatlah bertentangan dengan posisi partai demokrat sebagai partai pendukung pemerintah, seharusnya sebagai partai pendukung pemerintah demokrat harus mengawal segala kebijakan pemerintah dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, bukan malah melakukan aksi walk out, karena secara otomatis aksi walk out fraksi demokrat sama saja dengan mendukung opsi pilkada oleh DPRD. Publik bisa saja menilai bahwa dihapusnya pilkada langsung itu akibat pilihan politik partai demokrat yang tidak konsisten. UU Pilkada ini juga menjadi alat koalisi merah putih untuk mengambil alih pemerintahan di daerah, bisa dibayangkan meskipun Jokowi menjadi Presiden RI, akan tetapi yang berkuasa didaerah adalah Koalisi Merah Putih (Prabowo cs)

Secara konstitusional Pilkada oleh DPRD tidaklah bertentangan dengan Konstitusi, Pasal 18 Ayat 4 menyatakan “Gubernur,Bupati,dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secaraa demokratis” Frasa “dipilih secara demokratis” dapat dimaknai dipilih langsung dan dapat pula dipilih melalui sistem perwakilan dalam hal ini DPRD. Jadi tergantung pilihan politik pembentuk undang-undang, akan tetapi sekarang ini pilihan politik yang ambil oleh pemerintah dan anggota DPR sebagai pemegang kekuasaan pembuat undang-undang yaitu pilkada oleh DPRD.

Akan tetapi Penulis menilai pelaksanaan Pilkada oleh DPRD ini semakin membuat kacau sistem pemerintahan yang Indonesia anut, sebagai Negara kesatuan yang berbentuk republik seharusnya ada keseragaman sistem pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jika di tingkat pusat sistem pemerintahan yang anut adalah sistem presidensial dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka di daerah pun harus berlaku sistem yang sama. Akan menjadi sangat rancu jika pemerintah pusat memakai sistem presidensial, sedangkan pemerintah daerah menganut sistem parlementer, yang ditandai dengan pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota oleh DPRD (parlemen). Dalam UU No.6 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa pun juga masih menganut pemilihan kepala desa secara langsung. Adanya kerancuan sistem pemerintahan yang dianut ini akan sangat mempengaruhi jalannya sistem penyelenggaran pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Salah satu argumen yang mendukung pilkada oleh DPRD yaitu berdasarkan pada sila ke-4 Pancasila yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, dengan asumsi bahwa permusyawaratan perwakilan itu yang mencerminkan demokrasi perwakilan, akan tetapi penulis berpendapat sila ke-4 pancasila sila itu jangan dimaknai demokrasi perwakilan belaka, akan tetapi demokrasi yang berhikmat dan bijaksana. Frasa “hikmat kebijaksanaan” itu bermakna Integritas, Kecerdasan, dan Keteladanan. Sehingga menurut penulis pelaksanaan pilkada oleh DPRD baru dapat dilaksanakan jika anggota DPRD sudah memenuhi indikator hikmat dan bijaksana yaitu anggota DPRD yang berintegritas, cerdas, dan bisa menjadi teladan.

Oleh karena itu Pilkada oleh DPRD harus disertai dengan perbaikan sistem politik nasional, khususnya Partai Politik baik dari segi rekruitmen kader, sistem kaderisasi, dan transparansi pendanaan. Karena satu-satunya organisasi kemasyarakatan yang di jamin dalam konstitusi untuk merekrut dan mengusung calon pemimpin adalah partai politik. Misalnya mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, dan beberapa pimpinan lembaga Negara itu berasal dari partai politik. Selain itu Partai Politik juga harus mempunyai konsep kenegaraan yang jelas,sehingga yang seharusnya ditawarkan masing-masing partai politik untuk meraih kekuasaan yaitu adu konsep kenegaraan, bukan dengan politik uang dan sebagainya. Dengan konsep kenegaraan tersebut nantinya dapat membantu proses jalannya penyelenggaraan pemerintahan setelah partai politik tersebut meraih kekuasaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline