Lihat ke Halaman Asli

Namin, Bukan Megawati

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1311748861648542949

Namin adalah salah satu dari sekian juta wong cilik yang setia mati kepada Megawati dan PDIP, dan kini terlupakan. oleh Rusdi Mathari Namanya Namin tapi di KTP, di belakang namanya ada tambahan “BA”. Bukan gelar akademik sarjana muda, Bachelor of Art itu, karena Namin bahkan tidak lulus SD. Embel-embel itu tak lain adalah singkatan dari Betawi Asli. Benar, Namin memang berdarah Betawi. Badannya tinggi besar, wajahnya sangar, kulitnya hitam.  Namin yang gagah  itu, akan tetapi kini tak berdaya. Sejak sekitar lima tahun lalu, dia terserang stroke parah, dan sejak itu, Namin tak bisa lagi untuk berbicara. Dari mulutnya hanya bisa keluar kata-kata “Kaw, kaw, kanci…” Satu kakinya, harus disanggah oleh kruk. Bila berjalan, dia harus menyeret sebelah kakinya yang tak bisa digerakkan. Sebelum stroke jahanam itu menyerang, Namin adalah ketua RT 05 RW 03 Srengsengsawah, Jakarta Selatan. Kini tugas sosial itu digantikan Wati, sang istri. Di kalangan pengikut PDIP di Jakarta, Namin dikenal sebagai satu manusia yang setia kepada Megawati dan PDIP, dan seperti halnya banyak wong cilik yang setia kepada PDIP dan terutama kepada Mega, hampir seluruh hidup Namin sebelum sakit bisa dikatakan dihabiskan hanya untuk partai dan untuk nama besar Mega itu.  Sebelum sakit, dia bercerita, kesetiaannya kepada Mega dan PDIP adalah harga mati, dan itu kata dia sudah diniatkan sejak PDIP masih bernama PDI dan menjadi partai kelas tiga di zaman Orde Baru. “Saya memang pengagum berat Sukarno karena pengaruh ayah saya,” kata Namin, pada suatu malam, di pos ronda. Beberapa saudara Namin menjelaskan, jabatan terakhir Namin di PDIP adalah koordinator Satgas Kesehatan PDIP. Namin pernah juga menjabat ketua ranting PDIP Jagakarsa, Jakarta Selatan, dan ketua Forkabi Srengsengsawah. Lalu sejak 1977 dirinya selalu ikut setiap kali PDI berkampanye. Ketika terjadi bentrokan antara pendukung Golkar dengan massa PDI di Lapangan Banteng Jakarta Pusat pada putaran pertama kampanye Pemilu 1977, Namin mengaku termasuk orang yang berdiri di depan menghadapi massa Golkar meskipun setelah itu dia harus pulang dengan sejumlah luka. “Saya selamat karena menyebut ke got,” kata Namin. Juga sewaktu Mega akhirnya masuk PDI dan lalu terpilih menjadi ketua umum pada 1996 kesetiaan Namin kepada PDI dan Mega menjadi harga mati. Dia termasuk salah satu saksi hidup penyerbuan sejumlah orang yang dibekingi tentara ke kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat pada 27 Juli 1996. Dia mengaku, pada saat itu berada di dalam gedung PDI dan dengan garang memberikan perlawanan kepada para penyerbu meskipun akhirnya dia ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya. “Pak Taufik ketika itu sempat menelepon dan menanyakan nasib saya, karena berita yang beredar saya ikut tewas di dalam kantor itu,” kata Namin dalam percakapan dengan saya dua bulan sebelum terkena stroke. Taufik yang dimaksud Namin adalah Taufik Kiemas suami Megawati. Memaki Eros Djarot dan Surjadi Ketika PDI versi Surjadi mengadakan Kongres di Medan pada 1996, Namin juga hadir sebagai pembela Mega. Dia mengaku menyerbu kongres Medan dan memaki-maki para petinggi PDI termasuk Surjadi dan Fatimah Ahmad. Sewaktu PDIP memenangkan Pemilu 1999 dan Megawati lalu tak terpilih menjadi presiden RI, Namin adalah salah satu orang yang juga meneteskan darah dari jempol tangannya sebagai tanda kesetiaan untuk menyokong Mega menjadi presiden RI. Di kampungnya, di RT  05 RW 03 Srengsengsawah, PDIP menang telak, salah satunya karena pengaruh Namin. Hampir semua warga ketika itu dimobilisasi olehnya untuk hanya mendukung dan mencoblos PDIP. Dia membagikan kaus, mengoordinasikan pengangkutan warga untuk menghadiri kampanye, melakukan bakti sosial di lingkungannya dan sebagainya. Bahkan seluruh adik, kakaknya, dan para tetangganya akhirnya banyak yang bekerja di PDIP, juga berkat usaha Namin. Dia mengaku pula, hampir selalu hadir pada setiap acara PDIP di hampir seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari Medan, Solo, Cirebon, Surabaya, Bali hingga Makassar. Di Kongres PDIP di Semarang pada 2000–yang kemudian ricuh itu- Namin sekali lagi berada paling depan membela setia Mega. Orang-orang yang mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PDIP di luar Mega seperti Eros Djarot, konon didatangi oleh Namin dan dimaki-maki. “Saya datang ke Mas Eros dan saya katakan, dia tidak bisa [mencalonkan sebagai ketua umum PDIP] seperti itu,” kata Namin. Saya pernah meminta konfirmasi soal pengakuan Namin itu kepada Eros, tapi Eros mengaku tak ingat dan tak mengenal Namin. Rumah 2,5x 6 meter Lahir di Srengsengsawah, darah Betawi Namin diwariskan dari Pena, ibunya. Ayahnya bernama Naseh, jagoan silat dari Sumedang, Jawa Barat. Keluarga ini semula adalah keluarga yang disegani oleh masyarakat setempat, sebagai keluarga yang memiliki tanah luas di Srengsengsawah dan keluarga jagoan. Sebagian besar tanah milik keluarga, akan tetapi kini sudah djual, dan hanya menyisakan beberapa petak, yang di atasnya dibangun rumah-rumah kecil, yang ditempati oleh Namin dan tiga saudaranya. Empat suadara Namin yang lain, tinggal di Citayam, di Depok. Sebelum terkena serangan stroke, Namin sebetulnya menempati rumah yang agak luas. Namun tiga tahun lalu, tanah dan rumah berukuran sekitar 42 meter itu juga dijual oleh Namin dan istrinya seharga Rp 63 juta. Uang itu, sebagian digunakan untuk membayar utang-utang keluarga Namin, termasuk utang-utang yang digunakan untuk membayar ongkos operasi dan perawatan Namin di Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta. “Hanya tersisa Rp 25 juta,” kata Wati. Usaha penyewaan tenda yang pernah dimiliki Namin juga habis dijual untuk keperluan menyambung hidup dia dan keluarganya, sejak Namin “tak bekerja” di PDIP. “Karena praktis sejak dia sakit, dia tak punya penghasilan,” kata Kiman, kakak Namin. Kata Kiman, Namin sebetulnya sudah berkali-kali di bawah ke rumah Mega di Kebagusan, Jakarta Selatan sekadar untuk meminta perhatian. Namun berkali-kali pula, keluarga Namun harus kecewa karena tak sekalipun ditemui oleh Mega maupun Taufik. Dulu, beberapa hari setelah Namin kali pertama masuk rumah sakit, 11 Maret 2006, Dayat sang adik yang aktif di Satgas Keamanan di Kantor PDIP Lenteng Agung, pernah berhasil mengumpulkan uang sumbangan dari teman-teman Namin di PDIP sebanyak Rp 12 juta, tapi uang itu juga habis untuk membayar ongkos perawatan dan menebus obat Namin. Dari kuitansi yang dikeluarkan oleh RS Pasar Rebo terbilang ongkos perawatan Namin hingga 3 April 2006 mencapai Rp 30 jutaan. Ongkos itu tak termasuk biaya untuk menebus obat dan sebagainya selama dua bulan, dan bulan-bulan berikutnya. “Kalau ditotal mungkin mencapai Rp 60 juta,” kata Wati. Kini Namin menempati rumah berukuran 2,5×6 meter, yang dia bangun dari sisa uang hasil penjualan rumahnya terdahulu. Hidupnya bergantung dari usaha warung nasi, milik Ahmad anak sulungnya. Hampir setiap sore, dia hanya duduk di bangku di depan warung nasi milik Ahmad itu. Kecewakah, atau sakit hatikah  Namin kepada PDIP, Megawati, dan para petinggi PDIP lainnya yang kini mungkin telah melupakan dirinya? Namin yang ditanya oleh Dewi anak bungsunya, hanya menggelengkan kepala. “Kaw, kaw, kanci…” kata Namin suatu sore, menunjukkan gambar Mega, yang tercetak di kaus hitam yang dikenakannya. Namin memang setia kepada Mega. Entahlah Mega. Foto: Namin mencium tangan Megawati. Silakan klik Rusdi GoBlog.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline