Lihat ke Halaman Asli

Hidup Hanya Melupakan Pajak

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SBY menyebut penggelapan pajak sebagai kejahatan yang merugikan negara. Lalu Dirjen Pajak berjanji akan bertindak cepat mengejar tunggakan pajak tiga perusahaan milik Bakrie. Dia katanya tak mau mengulang kesalahan seperti yang terjadi pada tunggakan pajak Asian Agri. oleh Rusdi Mathari ANDAI masih hidup, penyair Chairil Anwar mungkin bisa diminta untuk mengganti bait puisi Derai Cemara. Dari hidup hanya menunda kekalahan menjadi hidup hanya melupakan perkara. Sudah berbilang tahun, kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan PT Asian Agri terungkap tapi berkas perkara untuk pengusutan kasus itu hingga kini tak jelas. Desember tahun lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji hanya berharap kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri itu bisa dilimpahkan ke pengadilan, karena kata dia menyangkut rasa keadilan masyarakat. Namun kapan, entahlah. Kasus dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri adalah salah satu skandal keuangan terbesar selain skandal Century. Awalnya adalah majalah Tempo yang membeberkan potensi kerugian negara triliunan rupiah akibat dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri. Di bawah judul “Kisah Pembobol,” dalam edisi 21 Januari 2007 majalah itu menurunkan laporan investigatif tentang lika-liku manajemen Asian Agri menilap pajak berdasarkan sejumlah data, dokumen, dan pengakuan seorang saksi. Tak ada yang terusik dengan berita Tempo tersebut hingga kemudian mencuat kasus penyadapan yang dilakukan oleh polisi terhadap telepon milik wartawan Tempo Metta Dharmasaputra ketika berhubungan dengan saksi yang bernama Vincentius Amin Sutanto itu. Salinan percakapan SMS dari telepon milik Metta kemudian beredar di banyak orang sementara Asian Agri aktif menggalang opini, pemberitaan Tempo sebagai sesuatu yang tendensius. Pemberitaan Tempo itu lalu dibawa ke pengadilan oleh Asian Agri karena dianggap mencemarkan nama baik. Bersamaan dengan mencuatnya kasus penyadapan telepon Metta dengan Vincentius oleh polisi September 2007, Ditjen Pajak waktu itu mengungkapkan telah memanggil 53 saksi untuk diperiksa. Belakangan tersangka kasus dugaan penggelapan pajak itu mencapai 11 orang. Keterangan dari lembaga yang sama menyebutkan, dugaan kasus penggelapan pajak Asian Agri merupakan kasus berat karena melibatkan 15 perusahaan milik pengusaha Sukanto Tanoto dengan tiga modus operandi. Pertama menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. Kedua mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. Ketiga mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat ketiga modus itu, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,4 triliun. Bertemu SBY? Skandal keuangan ini sempat menyeret-nyeret sejumlah nama pejabat, termasuk nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun berstatus buronan dan dicekal, Sukanto Tanoto misalnya diberitakan pernah bertemu dengan Presiden SBY, sebelum Lebaran tahun 2007. Sebuah kabar yang niscaya sudah dibantah dengan saksama oleh Istana dan juga oleh pihak Sukanto Tanoto. Sukanto Tanoto adalah bos besar PT Raja Garuda Mas, induk perusahaan yang antara lain menaungi Asian Agri. Tan Kang Hoo nama aslinya. Pada 2006 dia dicatat oleh majalah Forbes sebagai orang paling kaya di Indonesia dengan nilai kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar. Perusahaan yang dimilikinya bergerak di industri kertas dan bubur kertas (kehutanan), kelapa sawit, konstruksi, permesinan, dan energi. Tak hanya di Indonesia, Sukanto Tanoto juga dicatat memiliki saham di perusahaan kelapa sawit National Development Guthrie, Electronic Magnetic Singapura, dan pabrik kertas di Cina. Di kehutanan, Sukanto Tanoto punya Asia Pacific Resources International Ltd (APRIL) yang antara lain menaungi PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Riau Andalan Kertas dan PT Riau Prima Energi. APRIL merupakan raksasa industri bubur kertas yang bersaing dengan Asia Pulp And Paper Ltd milik pengusaha Eka Tjipta Widjaja di bawah payung Sinar Mas Group. Keduanya berbagai penguasaan bisnis bubur kertas di Indonesia; Sukanto Tanoto (35 persen) dan Eka Tjipta Widjaja (42,4 persen). Melalui APRIL, Sukanto Tanoto menguasai 49 persen saham Asia Pacific Forest Product (Suzhou) Ltd di Cina, selain memiliki saham pribadi 2 persen. Sisanya dimiliki oleh UPM Keymene, perusahaan dari Filandia. Sukanto Tanoto pernah terkenal karena pembuangan limbah yang dilakukan oleh PT Inti Indorayon Utama ke Sungai Asahan, Sumatra Utara dinilai telah mencemari lingkungan dan merusak ekosistem sungai. Sebelum PT Unibank Tbk. ditutup akibat mengemplang BLBI senilai Rp 50 miliar dan fasilitas diskonto wesel ekspor berjangka sekitar US$ 230 juta, Sukanto Tanoto tercatat sebagai pemilik bank tersebut. PT Riau Complex, salah satu perusahaan Sukanto Tanoto tercatat pula pernah memiliki utang kepada sindikasi lima bank senilai US$ 1,5 miliar. Kepada PT Bank Mandiri Tbk. yang menjadi pemimpin sindikasi, Riau Compleex berutang hingga Rp 5,4 triliun. Di luar aktivitasnya sebagai pengusaha, Sukanto Tanoro bersama istrinya mendirikan Sukanto Tanoto Foundation. Lembaga ini bergerak di bidang sosial kemasyarakatan terutama di bidang pendidikan dan terkenal royal memberikan bea siswa untuk program sarjana dan pascasarjana. Pada tahun ini bea siswa dari Sukanto Tanoto Foundation diberikan kepada 300 mahasiswa S1 dan 50 mahasiswa S2 yang berasal enam perguruan tinggi negeri: Universitas Indonesia; Universitas Gajah Mada; Institut Teknologi Bandung; Institut Pertanian Bogor; Universitas Sumatra Utara; dan Universitas Riau. Ketertarikan Sukanto Tanoto pada pendidikan, mungkin disebabkan oleh latar belakangnya yang antara lain pernah mengenyam pendidikan di Harvard University, Amerika Serikat. Awal Maret 2008, Presiden SBY memerintahkan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak menuntaskan kasus pajak Asian Agri secara transparan, adil dan bisa dipertanggungjawabkan. Darmin Nasution Dirjen Pajak waktu itu berjanji akan menyerahkan berkas kasus dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri ke Kejaksaan Agung pertengahan April 2008. Sukanto Tanoto juga disebut-sebut akan dipanggil paksa dari tempat tinggalnya sekarang di Singapura. Namun sudah berbilang tahun dugaan kasus penggelapan pajak Asian Agri tetap mengendap di laci. Pajak Bakrie Di Istana Negara hari ini, SBY menyebut penggelapan pajak sebagai kejahatan yang merugikan negara. Kebetulan atau tidak, pernyataan SBY itu bersamaan dengan mencuatnya kasus kurang pajak PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT BUMI Resources, dan PT Arutmin Indonesia. Tiga perusahaan itu berada di bawah bendera Grup Bakrie, milik Aburizal Bakrie atau Ical, Ketua Umum Golkar. Dia tak bisa dimungkiri adalah salah satu orang berpengaruh di republik ini. Kekayaannya hingga akhir 2007 seperti pernah dicatat oleh majalah Forbes mencapai US$ 5,4 miliar dolar. Ical karena itu dicatat oleh majalah yang sama sebagai orang paling kaya di Indonesia ketika itu. Jika dikalikan dengan kurs dolar Amerika Serikat seharga Rp 10 ribu, kekayaan Ical saat itu mencapai Rp 54 triliun (lihat “Indonesia’s 40 Richest,” Forbes.com, 13 Desember 2007). Dua tahun lalu Forbes kembali menempatkan Ical dalam daftar “40 Orang Terkaya” di Indonesia dengan kekayaan US$ 850 juta. Peringkatnya melorot di urutan 9. Oleh majalah itu disebutkan, sepanjang 2008 keberuntungan Keluarga Bakrie telah merosot hingga 84 persen menyusul kejatuhan saham-saham perusahaan mereka di pasar modal. Menjawab pertanyaan Forbes, Ical mengkritik rumor soal adanya permusuhan dan skandal menyedihkan dalam pemulihan grupnya. Pada musim Pemilu 2004, Ical adalah orang yang berjasa mengantarkan SBY-Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Berjudul “Panas Digoyang Gempa Bumi” majalah Tempo edisi 17-23 November 2008 paragraph terakhir halaman 136 menuliskan, jasa-jasa Ical kepada pasangan itu. Sumbangan dananya disebut-sebut selalu dua kali lebih besar ketimbang sokongan rupiah dari Surya Paloh untuk keperluan yang sama. Menurut Tempo, karena sumbangan itu, Ical kemudian mendapat jatah pos strategis: Menko Perekonomian meski kemudian digeser menjadi Menko Kesejahteraan. Di artikel yang sama juga diungkapkan, perihal hubungan istimewa antara Ical dan SBY. Salah satunya menyangkut runtuhnya saham BUMI, perusahaan yang bergerak di usaha batu bara. Hingga awal Oktober 2008, saham perusahaan itu anjlok sekitar Rp 5.000 per lembar, dari semula Rp 8.500 menjadi hanya Rp 3.000. Perdagangan saham Bumi kemudian dihentikan oleh otoritas bursa, termasuk juga saham-saham dari lima perusahaan dari Grup Bakrie. Keluarga Bakrie dikabarkan kemudian, melakukan konsolidasi termasuk rencana menjual saham BUMI kepada Northstar. Mereka meminta agar perdagangan saham BUMI tidak segera dibuka kembali. Sebuah rencana yang niscaya ditolak oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Bu Menteri sebaliknya malah memutuskan untuk membuka kembali aksi jual-beli saham BUMI di lantai bursa pekan berikutnya. Belakangan terungkap, SBY memerintahkan Sri Mulyani agar terlebih dahulu bertemu dengan Ical sebelum benar-benar membuka perdagangan saham Bumi. Bu Menteri menolak dengan alasan, pembukaan saham BUMI bukanlah urusan Ical, meski dia berstatus sebagai menteri di kabinet SBY. Saat perdagangan saham BUMI diumumkan akan dibuka kembali pada 5 November 2008, Sri Mulyani mendapat teguran SBY, yang disampaikan melalui pesan pendek SMS. “Intinya, Presiden menyatakan kalau dalam organisasi ada yang tidak sepaham dengan perintah atasan, itu berarti tidak disiplin.” Begitulah kutipan lengkap Tempo. Akibat teguran dari atasannya itu, Sri Mulyani sempat mengambil keputusan untuk mundur dari kabinet. Keputusan itu dia sampaikan kepada Yudhoyono di Istana, 5 November 2009. Namun permintaan itu ditolak oleh SBY. Sehari sebelum SBY menyoal para pengemplang pajak itu, Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo mengungkapkan kurang bayar pajak KPC diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun, Bumi sebesar Rp 376 miliar, dan Arutmin sebesar US$ 27,5 juta. Lalu kata Pak Dirjen, dalam kasus kurang pajak tiga perusahaan Grup Bakrie itu, dia tidak mau mengulang kesalahan seperti yang terjadi pada tunggakan pajak Asian Agri. Tjipto karena itu berjanji akan bertindak super cepat mengejar tunggakan pajak tiga perusahaan milik Grup Bakrie itu. Dia akan tetapi tak menjelaskan, apakah itu karena kasus  pajak Grup Bakrie  saat ini lebih seksi secara politik dibandingkan kasus pengemplangan pajak Asian Agri, atau semua hanya untuk memenuhi target pendapatan pajak. Andai saja Chairil masih hidup, sang penyair mestinya memang bisa diminta mengubah bait puisinya, hidup hanya menunda kekalahan menjadi hidup hanya melupakan perkara, itu. Bayarannya, tentu bukan dari uang hasil mengemplang pajak, apalagi berasal dari dana bail out Century. Tulisan ini juga bisa dibaca di Rusdi GoBlog.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline