Lihat ke Halaman Asli

Tim Independen, untuk Siapa?

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa yang berani menjamin, gelombang publik tak akan semakin menjadi lebih besar kalau ujung pangkal persoalan yang sebenarnya; skandal Bank Century, orang-orang yang terlibat dalam skenario pelemahan KPK, dan pertemuan orang-orang Boedi dengan manajemen Century di ruang kerja Susno juga tidak diungkap? oleh Rusdi Mathari LALU apakah yang bisa diharapkan dari tim pencari fakta atau tim-tim semacam itu? Selain orang-orangnya hanya itu-itu saja, yang dalam beberapa hal bisa dibaca hanya mewakili kelas menengah atau kelompok tertentu, tim semacam itu sudah belasan, bahkan puluhan kali dibentuk di negeri ini. Kecuali rekomendasi –dan tak pernah jelas apa yang sebetulnya dimaksudkan sebagai rekomendasi itu— hasil kerja tim semacam itu juga tak pernah terang dan kalau pun ada yang jelas tapi kerap diabaikan. Kini muncul tim serupa untuk kasus Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah bentukan Tuan Presiden. Tim ini dibentuk setelah muncul gelombang perlawanan yang cukup besar dari rakyat untuk menolak penahanan Bibit dan Chandra oleh Polri dan mendukung KPK. Tugasnya melakukan verifikasi fakta dan proses hukum kasus Bibit dan Chandra, menampung semua unek-unek masyarakat, dan memberikan rekomendasi kepada presiden. Dengan demikian, kelak akan bisa diurai duduk persoalan yang sebenarnya dan persoalan bisa dianggap selesai. Satu hal yang kemudian gagal dibaca oleh Presiden SBY dan para staf khususnya, penolakan masyarakat terhadap Polri yang menahan Bibit dan Chandra, sebetulnya bukan karena semata dan berpangkal pada penahanan dua orang itu. Penolakan itu muncul, karena ada semacam kesadaran kolektif berupa ketidakpercayaan publik terhadap kinerja lembaga penegak hukum yang dalam konteks ini diwakili oleh Polri, dan juga ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Hulunya adalah skandal Bank Century, bank busuk yang “ditolong” pemerintah dengan dana Rp 6,7 triliun. Sebelum “ditolong” pemerintah dan berganti nama menjadi Bank Mutiara, pemilik bank ini adalah Robert Tantular. Dia adalah spekulan besar di pasar keuangan nasional. Keluarganya dikenal memiliki reputasi buruk  di dunia keuangan. Karena kasus Century, Robert divonis empat tahun penjara. Hukuman itu lebih ringan empat tahun dari tuntutan jaksa yang delapan tahun. Sekitar lima bulanan setelah bank itu diselamatkan, muncul surat Susno tertanggal 7 April 2009. Surat bernomor R/217/IV/2009/Bareskrim itu ditujukan kepada Direksi Bank Century dan menjelaskan soal dana milik Boedi Sampoerna. Dia adalah keluarga Sampoerna, pendiri pabrik rokok HM Sampoerna, dan bos PT Lancar Sampoerna Bestari. Beredar luas kabar, Boedi termasuk salah satu penyokong utama SBY di musim pemilu lalu,  termasuk dengan menerbitkan sebuah koran nasional. Di Century, Boedi adalah nasabah kakap. Dalam sidang perkara penggelapan dana senilai Rp 400 miliar milik nasabah Bank Century di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, 10 Agustus silam terungkap, sejak 1998 Boedi menyimpan dana Rp 2 triliun dalam bentuk deposito di Century. Dana sebesar itu disimpan Boedi di beberapa kantor cabang  Century di Surabaya. Ikut Reksadana Di persidangan itu juga terungkap, uang Boedi diinvestasikan dalam bentuk produk reksadana di PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia. Nama terakhir adalah perusahaan efek yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan nomor akta pendirian No. 227, 26 Oktober 1989 dan modal dasar Rp 60 miliar. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, pemegang saham Antaboga adalah PT Mitra Sejati Makmur Abadi (17,82%) dan PT Aditya Reksautama (82,18%). Di perusahaan yang disebut terakhir itu, Robert Tantular bersama Hartawan Alumni memiliki saham. Melalui Antaboga yang sahamnya dikantongi lewat Aditya Reksautama itu, Robert juga menggenggam sebagian saham kepemilikan Century, selain atas nama pribadi. Karena kepemilikan silang itu, Robert lalu menawarkan produk Antaboga kepada nasabah Century dengan iming-iming bunga tinggi.  Itu berlangsung sejak 2005. Saat itu dan tahun-tahun sebelumnya, perbankan memang giat menawarkan produk reksadana menyusul maraknya produk itu. Investasi gaya baru itu, menjanjikan perolehan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan deposito perbankan. Jika rata-rata pembayaran bunya deposito misalnya  hanya sekitar 10%, maka reksadana memberikan bunga hingga 14% per tahun. Riset sebuah perusahaan sekuritas menyebutkan, jika seorang investor  menanamkan 100 perak di reksadana di awal tahun, maka di awal tahu berikutnya, jumlah uangnya akan menjadi 127,75 perak. Bandingkan misalnya dengan deposito berjangka satu bulan, yang setelah setahun hanya sanggup membiakkan duit menjadi 113,93. Ketika kali pertama dikenalkan pada 1996, reksadana nyaris hanya dilirik oleh kalangan tertentu. Enam tahun kemudian, investasi ini menggoda banyak orang untuk mencobanya. Ledakan  bisnis reksadana yang paling dahsyat terjadi sejak September 2002. Pemicunya tak lain adalah obligasi pemerintah yang ditempatkan di perbankan (obligasi rekap). Ketika itu, obligasi rekap mulai dilepas oleh bank-bank yang mendapatkannya dan reksadana yang menangkapnya. Hampir setiap bank besar dan perusahaan sekuritas lalu bermain di produk itu. Apalagi bunga suku bunga deposito juga turun —menyusul turunnya bunga Sertifikat Bank Indonesia—sementara perdagangan saham pada masa-masa  itu juga lesu. Maka seperti api menemukan bensin, minat orang dan perbankan terhadap reksadana lantas menjadi luar biasa. Tak genap setahun setelah Century menawarkan reksadana Antaboga, Bank Indonesia mengeluarkan larangan kepada perbankan untuk menjual produk reksadana. Namun Century  tetap nekat, meski diketahui kemudian, reksadana yang dijual itu bukan produk Century dan bodong. Kasus penggelapan dana nasabah Antaboga itu mulai terkuak, Desember 2008. Saat itu ratusan nasabah Century melaporkan kerugian yang mereka derita karena membeli produk investasi Antaboga lewat Century. Duit nasabah yang hanyut dalam kasus ini awalnya hanya sekitar Rp 240 miliar. Namun angka itu akan terus bertambah karena para nasabah kakap seperti Boedi Sampoerna juga ikut menanam uangnya di Antaboga. Dan ini yang terungkap di PN Surabaya, 10 Agustus silam: Boedi ternyata menginvestasikan uangnya ke produk reksadana sejak 2006. Dari Berita Acara Pemeriksaan Boedi yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum Ramel Jesaya, diketahui “Saksi (Boedi) tertarik untuk membeli produk Antaboga setelah ditawari oleh Lila Komaladewi Gondukusumo dan Siti Aminah, bahwa bunganya mencapai 15 persen atau jauh lebih tinggi dari bunga Bank Century.” Lila adalah Direktur Pemasaran Bank Century Wilayah V (Surabaya dan Bali) dan Siti adalah salah satu kepala cabang Bank Century di Surabaya. Lalu bagaimana nasib uang Boedi? Rupanya setelah Century “ditolong” dengan penuh perhatian oleh pemerintah, dana Boedi juga kunjung keluar. Sama dengan dana-dana milik para nasabah Century yang lain, yang ikut membeli reksadana Antaboga. Karena tak kunjung cair itu, Boedi meminta jasa baik Susno, yang lantas mengeluarkan surat R/217/IV/2009/Bareskrim 7 April 2009 itu. Susno bercerita, surat itu diterbitkan karena Century memang meminta surat itu pada polisi. Ingin meminta kepastian tentang status uang Boedi, karena yang bersangkutan hendak mencairkan dananya. Dengan alasan surat Susno tak menyebutkan nilai dana milik Boedi US$ 18 juta, manajemen Century meminta surat yang lebih terang. Susno karena itu menerbitkan surat kedua tertanggal 17 April 2009 dengan menyebutkan nilai uang Boedi. Ruangan Susno Tak lalu dengan dua surat dari jenderal polisi itu, uang Boedi lantas benar-benar cair. Entah bagaimana ceritanya, orang-orang Boedi dan Century kemudian bersepakat bertemu. Tempatnya: di Ruang Bareskrim Mabes Polri, tempat Susno berkantor. Kabarnya berkat pertemuan itu, urusan dianggap selesai meski tak dijelaskan apakah uang Boedi benar-benar cair atau tidak. Dari sanalah muncul tudingan Susno mendapat imbalan Rp 10 miliar. Ada juga yang menyebutkan Susno kebagian jatah 10 persen dari nilai US$ 18 juta milik Boedi yang ditanam di Century meski semua itu, niscaya dibantah oleh Susno. “Saya tak menerima suap. Tak ada yang berlebihan yang saya lakukan, hanya menjelaskan status dana milik Boedi Sampoerna itu,”  kata Susno (lihat “Surat Jenderal Susno dan Tuduhan Upeti 10 MVivanews, Rabu, 16 September 2009). Selasa 30 Juni 2009, Susno berkoar-koar, telepon genggamnya disadap. Pekan awal Juli 2009, tiga wartawan Tempo mewawancarainya perihal penyadapan itu. Susno akan tetapi tak mau berterus terang mengatakan, siapa yang menyadap. Sebaliknya dia melontarkan pengandaian buaya dan cicak. Banyak orang lalu menafsirkan, buaya yang disebut Susno sebagai representasi Polri dan cicak adalah KPK.  Soal kenapa Susno melemparkan istilah buaya dan cicak itu, tentu bukan karena dia misalnya doyan daging buaya dan sebaliknya jijik melihat cicak. Penjelasan yang lebih terang justru muncul dari KPK dua bulan kemudian melalui penjelasan Bibit. Kata dia, memang ada penyadapan tapi bukan untuk Susno. Pihak KPK kata Bibit sedang menyadap telepon genggam seseorang dan telepon Susno masuk ke telepon yang disadap. “Itu saja kok. Tidak sengaja. Jadi, bukan kita yang menyadap Susno tapi Susno-nya yang masuk ke penyadap kita,” kata Bibit. Bibit tentu tak membeberkan siapa orang yang teleponnya disadap oleh KPK tapi jelas penyadapan itu berhubungan dengan skandal Bank Century. Cuma belakangan, Polri mencari-cari celah menghubungkan kasus penyadapan itu dengan penyalahgunaan wewenang petinggi KPK dan sebagainya, hingga berujung kepada penahanan Bibit dan Chandra yang dianggap melakukan  “kejahatan” menyadap dan mencekal Anggoro Widjojo. Dia adalah Direktur Utama PT Masaro Radiokom, tersangka dan buronan  KPK untuk perkara dugaan suap kepada sejumlah anggota DPR dalam sebuah proyek Departemen Kehutanan. Polisi tidak pernah menyidik Anggoro, yang kini berada di Singapura tapi, seperti sudah luas diberitakan dan diakui oleh kepolisian: Susno, pernah menemuinya di negeri tetangga itu. Pertanyaannya kemudian, untuk apa tim independen dibentuk Tuan Presiden, jika tugasnya hanya mencari fakta kasus hukum Bibit dan Chandra dan mengabaikan ujung pangkal persoalan yang sebenarnya: skandal Bank Century? Benar, dalam beberapa hari ke depan, penolakan publik terhadap penahanan Bibit dan Chandra mungkin memang bisa diredam, misalnya karena atas rekomendasi tim independen, Susno kemudian dicopot dari jabatannya. Citra Tuan Presiden pun akan terselamatkan. Tapi setelah itu, siapa yang berani menjamin, gelombang publik tidak akan semakin menjadi lebih besar kalau masalah utamanya; skandal Bank Century, orang-orang yang terlibat dalam pelemahan KPK,  dan pertemuan orang-orang Boedi dengan manajemen Century di ruang kerja Susno juga tidak diungkap? Dengan kalimat lain, jika hanya bertugas mencari fakta kasus penahanan Bibit-Chandra, keberadaan tim independen itu sebetulnya tak ada gunanya, kecuali hanya untuk menyelamatkan citra Presiden SBY. Tulisan ini juga bisa dibaca di Rusdi GoBlog.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline