Tepat hari ini 26 Oktober 2019, genap sebulan Maluku dilanda gempabumi. Terhitung sejak tanggal 26 September 2019, dimana sebagian wilayah Maluku digoncang gempabumi berkekuatan magnitudo 6.5 pada pukul 08.46 WIT, yang dirasakan oleh masyarakat di Pulau Ambon, Pulau Haruku dan Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB).
Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), per tanggal 26 Oktober 2019 pukul 08.46 WIT, bahwa sudah terjadi gempa susulan sebanyak 1870 kali, dan yang dirasakan sebanyak 210 kali. Tentunya ini menambah catatan sejarah bagi masyarkat Maluku, setelah kejadian gempa Ambon tahun 1674 yang juga memakan korban ribuan orang.
Seperti yang dilansir oleh spektrumonline.com, bahwa Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Stasiun Geofisika Ambon, Andi Azhar Rusdin menjelaskan, jumlah gempabumi susulan sudah 1.870 kali tersebut, jika dibandingkan dengan gempa susulan di Lombok pada 5 Agustus 2018, dan Palu 28 September 2018, maka gempa susulan di Ambon, Kairatu -- SBB, lebih banyak (melebihi) gempa yang terjadi di Lombok dan Palu.
Dalam satu bulan ini juga jumlah pengungsi mencapai 108.000 orang, mereka masih bertahan di lokasi pengungsian dan belum berani untuk kembali karena trauma. Apalagi pada tanggal 10 Oktober 2019 lalu, Maluku kembali digoncang gempa berkekuatan 5,2 SR pada pukul 13:39 WIT, dengan kedalaman 10 km dan disusul secara rentetan pada menit berikutnya, yakni 4,6 SR pada pukul 13:42 WIT, 3,5 SR terjadi pada pukul 13:49 WIT, 3,6 SR pukul 13:50 WIT, dan 3,2 SR pada pukul 13:53 WIT. BMKG mencatat pada hari Kamis, 10 Oktober 2019 itu terjadi 21 kali gempa terhitung dari pukul 04:45---23:16 WIT.
Mirisnya, keresahan dan rasa takut yang dialami warga juga karena adanya isu hoax, atau berita bohong yang tersebar di media social. Hoaks yang terjadi pascagempa ini disebabkan karena minimnya pengetahuan secara ilmiah. Sementara informasi yang diterima langsung ditelan mentah, tanpa ada cek fakta terlebih dahulu.
Menurut data Relawan TIK Maluku dan Mafindo Ambon, bahwa data hoax dan bias informasi pascagempa ada 12 kasus atau infromasi hoax yang meresahkan masyarakat. Saya sebagai koordinator Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) Ambon, tentunya sangat prihatin dengan kondisi tersebut.
Salah satu faktor penyebab hoax yang mudah dipercaya oleh masyarakat karena minimnya literasi, di mana proses kemampuan seseorang dalam mengelola informasi ketika membaca, kemudian menulis ulang informasi tersebut, lalu dibagikan kembali. Bayangkan saja jika satu orang menshare (membagikan) ke 10 orang, dan masing-masing 10 orang itu menshare lagi ke orang berikutnya, ini kan fatal..!
Tidak hanya itu, dalam sebulan ini banyak persoalan yang dihadapi masyarakat, mulai dari keluhan pengungsi, statement Wiranto yang mengecewakan (beruntungnya sudah cepat diselesaikan dengan permintaan maaf), sampai viralnya video anak SMP yang mengatakan gempa berpotensi libur.