[caption caption="Teatrikal Perang Kapahaha di Pentas 7 Sawal Negeri Morella 2014"][/caption]“Dengarlah wahai sekalian rakyat dan pejuang yang saya hormati...!
Tidak ada lagi pilihan untuk kita selain:
KAPAHAHA HAUSIHU HOLI SIWA LIMA, LISA’E MAKANA LAWA MENA HAULALA”.
“Usir penjajah-penjajah itu dari bumi kita ini sampai titik darah penghabisan, jangan biarkan mereka menindas kita sampai ke anak cucu kita,
KAPAHAHA HAUSIHU HOLI SIWA LIMA”.
Demikian teriak salah seorang pemain Teatrikal Perang Kapahaha di arena Pukul Sapu Lidi Negeri Morella. sebuah pekik patriotisme terlontar dari sang panglima perang Kapahaha merangsang semangat juang untuk menentang penjajah Belanda, dengan penuh semangat untuk kobarkan api perjuangan Kapahaha di seluruh patasiwa patalima.
Senin itu, bertepatan dengan perayaan pukul sapu 7 syawal negeri Morella, sebuah pentas teatrikal yang menarik perhatian penonton baik dari Morella sendiri maupun dari luar Morella. Teriakan yang menggelegar ditengah arena itu berasal dari teriakan pemeran Kapitan Telukabessy. “Lisa e Makana Lawamena Haulala, “ yang dalam arti kapata, Lisa= perang, Makana = bertahan, atau dalam pengertian umum artinya “Kita harus berjuang dan mempertahankan daerah ini”. Sementara Lawa= maju, Mena = depan, Haulala= semangat berapi-api, sehingga Lawa Mena Haulala dapat diartikan “Maju terus dengan semangat berapi-api.”
Pentas ini sudah enam tahun berturut-turut dibawakan pada arena yang sama. Masyarakat Morella umumnya sudah tahu alur cerita. Tapi ketika adegan demi adegan diperankan, masyarakat tetap antusias untuk menonton. Bagai terhipnotis dengan pementasan yang terus berulang, hal ini dapat kita lihat para penonton beberapa kali mengusap air mata.
”Kapahaha Hausihu Holi Siwa Lima, Lisa’e Makana Lawa Mena Haulala”. Terdengar kembali. Iya. ia mengerang. Tidak terima kehadiran Belanda yang sudah berlaku semena-mena. Ia kobarkan semangat juang melalui pekik itu. Korban jiwa tidak terelakan lagi namun semangat juang semakin bertambah. Pekikan-pekikan patriotis dan seruan perang oleh Kapitan Telukabessy terus mengalun memecah di angkasa Jazirah Leihitu. Para pejuang dari Wawane juga turut bergabung bersama Telukabessy. Dari Wawane yang berkumpul, diantaranya adalah; Kapitan Pattiwane, Karaeng Jipang, Daeng Manggapa, Kartulessy, Kapitan Tomol, Imam Rijali dll.
[caption caption="Pasukan Srikandi Kapahaha di Pentas Teatrikal"] [/caption]
TEATRIKAL
Teatrikal sebagai pembawa pesan perjuangan adalah pilihan cerdas. Inspirasi ini bukan hal baru bagi pentas perjuangan Kapahaha. Minimal teatrikal semacam ini sudah pernah dipentaskan oleh M. Nour Tawainella dengan Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) tahun 1965. Tujuan Tawainella ada dua. Pertama, menemukan semboyan untuk digunakan Kodam (karena ada sayembara Kodam XV tahun 1965 untuk mengisi pataka Kodam Pattimura). Tawainella bersama HSBI melakukan penelitian di Morella dan mengajukan pekik LAWA MENA HAULALA. Tujuan kedua, untuk mengisi kas pembangunan masjid Morella yang saat itu rencana direhab.
Pentas pertama Tawainella cs di halaman masjid Al-Muttaqin. Kemudian teatrikal ini menghilang, sampai tahun 2008 ketika pelajar dan mahasiswa Morella yang tergabung dalam Forum Kajian Sejarah dan Budaya (FKSB) Negeri Hausihu Morella membuat kembali teatrikal Telukabessy dengan menggunakan potensi internal. Benar-benar menggunakan pelajar dan mahasiswa dari Morella.
TERIAKAN MAKIN LANTANG ?
Apa yg menarik dari teriakan Lawamena Haulala ? Masyarakat Morella memahami bahwa Lawamena Haulala adalah pekik Telukabessy. Dan setelah digunakan oleh Kodam Pattimura pada pataka, nyaris tidak ada sebutan Telukabessy, ini terbukti ketika perayaan HUT Kodam XVI Pattimura, nama Telukabessy nyaris tidak lagi disebut. Lawamena Haulala sendiri sudah berubah arti dari “ Maju Terus dengan semangat berapi-api” ke “maju terus pantang mundur”. Bahkan pergeseran itu terjadi di buku Lintasan Sejarah Kodam, bahwa “Lawamena” yang berarti Maju Terus berasal dari Pattimura dan “Haulala” yang berarti Semangat Berapi-api dari Telukabessy. Pengertian “Haulala” tersebut terjadi perubahan menjadi Pantang Mundur.
Sah-sah saja bahwa ada perubahan arti karena disesuaikan dengan semboyan umum bahasa Indoensia. Namun bahwa itu digali dari Kapitan Telukabessy, nyaris tak ada sentuhan sedikitpun, hal ini merupakan proses lupa akan sejarah.
Pada Teatrikal tersebut teriakan itu diucap berulang. Seakan berteriak, “lawamena” harus terus maju, “haulala” itu darah kami. Darah pejuang Kapahaha yang hari ini tidak diingat.
Saya terlibat pada awal penyusunan naskah teatrikal ini bersama Ileng, Affan, Habsa dan beberapa kawan-kawan lainnya merasa bahwa semangat masyarakat Morella makin menyala-nyala dan antusias untuk memperkenalkan sejarah dan budaya secara terbuka pada dunia luar.
Hemat kami untuk memperkenal sejarah tersebut, salah satunya harus dengan mengangkat Lawa Mena Haulala melalui teatrikal. Tanpa membanding lantangnya suara kelompok atau antar generasi, maka nampaknya lantang Lawamena karena ada pengaruh teknologi dan media. Ini kita sukuri, termasuk sumber daya manusia yang makin membaik..
Bagi kelompok terpelajar baru yang tergabung dalam FKSB Negeri Morella ini, menemukan esensi pukul sapu adalah sangat penting. Dan mereka menemukan icon yang kuat. Icon itu “Kapahaha”. Persoalan yang kemudian harus dikembangkan adalah bagaimana icon itu dijabarkan lanjut. Karena disana akan ditemukan Lawamena. Disana akan ditemukan nama besar Telukabessy, disana ada nama besar Kapitan Pattiwane, Imam Rijali, bahkan para Karaeng dari Makassar. Teriakan itu tidak boleh sumbang. Biarkan ia nyaring memekakkan telinga anak negeri Maluku. Mengisi hati anak negeri. Lawamena adalah pekik Telukabessy, dan sudah sudah menjadi milik pejuang Kapahaha. Iya, pejuang Kapahaha yang bukan saja dari negeri Kapahaha, Iyal uli, Niggareta dan Putilessy (negeri lama), tapi sudah menjadi semboyan seluruh pejuang Kapahaha dari seantero nusantara.
Sebagai anak Negeri, kami merasa bertanggunjawab untuk menyuarakan kembali Lawamena Haulala, meskipun hanya melalui sebuah pentas teatrikal, setidaknya kami tidak meninggalkan identitas, seperti kata pepatah bahwa Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengahargai jasa para pahlawan. Bangsa yang mengingat sejarah. Olehnya itu melalui kegiatan seni inilah Forum angkat kembali pekikan itu. Namun demikian, tetap membuka diri pada semua pihak untuk berbagi informasi, sehingga konsep Lawamena Haulala dapat menjadi konsumsi bersama secara merata.
Membaca Lawamena dalam konteks kekinian, maka Lawamena adalah cambuk untuk semua anak cucu pejuang Kapahaha bersatu membangun silaturrahim, mengusir ketertinggalan. mengusir keterbelakangan dan menolak ketridakadilan. Lala yang juga berarti darah adalah simbol dari kegigihan membangun negeri. Kegigihan anak cucu untuk membangun persaudaraan.
Terakhir, kita juga butuh kajian mendalam untuk pemahaman bersama tentang Lawamena Haulala. Sayangnya, belum ada satupun karya akademik bergenre sejarah yang menukik ke masalah ini. kita masih berkutat pada Lawamena yang diterikakan tiap 7 Syawal di halaman masjid Al-Muttaqin Morella.
Waeheru, 9 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H