Lihat ke Halaman Asli

K-Pop Membakar Jepang

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13381803692094977758

Ini bukan tsunami, tapi gelombangnya terlanjur jauh menyapu tanpa bisa dibendung ke seantero dunia. Gelombang kebudayaan Korea (Korean wave atau Hallyu) tak hanya menyapu Asia, tapi juga menggetarkan subkultur Eropa dan Amerika. Mekarnya budaya pop Korea adalah fenomena yang bukan tanpa rencana. Sejak awal 1970-an pemerintah negeri gingseng telah bersungguh-sungguh menggarap industri kreatif di negaranya. Pada 1973, pemerintah membentuk The Korean Film Council (KOFIC) di bawah Kementerian Budaya, Olahraga dan Pariwisata (http://www.koreanfilm.or.kr). Demi mendukung industri film dalam negeri, pemerintah negeri gingseng memberlakukan kuota tayang film nasional minimal 106 hari per tahun. Selain itu, melalui KOFIC pemerintah menggelontorkan dana USD 8,9 miliar untuk digunakan mengelola sekolah film, promosi, pengelolaan studio film, serta menyelenggarakan lomba penulisan skenario film.

Jauh sebelum hallyu diterima dunia, di era 1930-an pop Jepang sangat mempengaruhi unsur-unsur budaya massal Korea. Derasnya dominasi produk budaya Jepang, seperti manga (komik Jepang), anime (film animasi), games, fashion, musik, dan drama Jepang (dorama) yang begitu digandrungi remaja Korea membuat industri kreatif negara tersebut sulit berkembang. Namun seiring perubahan politik dan perkembangan ekonomi yang dipicu oleh tumbuh pesatnya industri otomotif dan elektronik memunculkan pola kapitalisme yang merekayasa budaya sebagai komoditas pendongkrak devisa. Kemajuan ekonomi Korea atau dikenal Keajaiban Sungai Han (The Miracle of Han River) mendorong munculnya ide sinkretis dengan Amerika dan Jepang sebagai model yang sukses manjadi eksportir budaya (cultural exportir).

Sejak kestabilan ekonomi tercipta, Korea Selatan mulai bersungguh-sungguh melakukan ekspansi budaya melalui tayangan hiburan berupa musik, film dan drama. Diterimanya budaya populer ala Korea di antaranya bertepatan dengan adanya kebosanan akan budaya Amerika yang telah menguasai pasar demikian lama. Selain itu, industri pop Korea mendapat dukungan berupa basis penggemar yang berkembang membentuk sub-kultur yang sekarang telah menjadi sub-kultur dunia. Dan tentu saja, peran media massa yang menopang terjadinya transmission of values atau penyebaran nilai-nilai yang identik pada gaya hidup pop Korea. Trend baru budaya massal Korea membawa pengaruh terhadap pergeseran nilai dan persepsi masyarakat. Anggapan pria macho, berotot sebagai ukuran kegagahan seperti Rambo bergeser pada penampilan pria berwajah cantik, mulus dengan postur tubuh proporsional.

Berbeda dengan budaya pop Jepang yang penikmatnya didominasi anak-anak dan remaja, budaya pop Korea mampu menjangkau segala [caption id="attachment_191076" align="alignleft" width="300" caption="courtesy www.mycoreancorner.wordpress"][/caption] usia, dari anak-anak, remaja hingga dewasa terutama kaum ibu. Di lain pihak, globalisasi budaya pop Korea yang kian mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia, menuai resistensi di Jepang (http://www.cnngo.com/anti-korean-wave-japan-turns-political). Gelombang Korea mulai terasa riaknya di Jepang sejak drama Winter Sonata yang tayang di NHK pada April 2003 menuai kesuksesan. Sementara Jepang kebakaran jenggot dengan melambungnya pop Korea, negara-negara Asia makin doyan membeli program televisi Korea karena harganya yang lebih murah dibandingkan program-program televisi negeri sakura.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline