Lihat ke Halaman Asli

RuRy

Lahir di Demak Jawa Tengah

Memaknai Hidup dengan Logika tanpa Terjebak Fatamorgana

Diperbarui: 1 Mei 2017   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak sedikit kaum terdidik yang terkadang merasa iri terhadap orang yang pendidikannya rendah, tetapi sukses berbisnis. Dalam hal ini, siapa pun harus menyadari bahwa hidup sudah ada yang mengatur. Tuhan bebas memberikan rezeki berlimpah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya. Jika manusia melihat atau mengalami hal-hal di luar nalar, ia sebaiknya segera mengingat Tuhan.

Terkadang, seseorang merasa bahwa dirinya tidak bodoh-bodoh amat. Bahkan, prestasinya di sekolah dan kampus termasuk di atas rata-rata. Namun, nasibnya secara ekonomi kalah dibanding teman-temannya. Padahal, dilihat dari segi usaha dan kecerdasan, teman-temannya tergolong biasa saja. Maka, muncul ungkapan pintar, tetapi nasibnya kurang sukses. Hal ini menjadi misteri hidup yang hanya diketahui oleh sang Pencipta.

Sebenarnya, makna (tepat atau sesuai harapan) dan (tidak tepat atau di luar harapan) bergantung pada orang yang menjalaninya. Sebagai contoh, seorang ahli mesin lulusan perguruan tinggi ternama bekerja di bidang kuliner. Mungkin ada yang menyatakan bahwa nasib sarjana tersebut (tidak mendapatkan keberuntungan). Ia semestinya menjadi teknisi di sebuah perusahaan terkemuka dengan gaji besar. Meskipun banyak orang yang berfikir normatif seperti itu, kenyataannya ia menjalaninya dengan nyaman. Bahkan, ia justru merasa beruntung dapat mengembangkan bakatnya di bidang bisnis makanan. Jadi, apa yang disebut pandangan umum belum tentu benar. Pandangan umum tentang bejo atau tidak bejo belum tentu sesuai dengan yang dirasakan pelakunya.

Seseorang dikatakan bejo atau tidak bejo bukan semata-mata didasarkan pada pandangan orang lain yang sifatnya sangat subjektif. Orang lain bisa mengatakan bahwa seseorang nasibnya bejo karena dulu waktu sekolah bodoh, pernah tinggal kelas, tetapi kini bisa menjadi pengusaha. Belum tentu orang yang dianggap beruntung itu di kantor bisa bisa bekerja dengan nyaman. Ia mungkin tersiksa mendapati kenyataan bahwa teman-temannya satu kantor bisa naik ke jenjang karier lebih tinggi karena mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Adapun dirinya tetap stagnan karena kemampuan otaknya tidak menonjol sekalipun menjadi pegawai di pemerintahan.

Orang yang pinter, tetapi merasa dirinya tidak bejo dalam menerima nasib atau takdirnya, berarti patut diragukan kadar intelektualnya. Orang yang pinter seharusnya merasa bejo di mana pun ia bekerja dengan sebaik-sebaiknya. Ia tidak merasa iri terhadap nasib orang lain.

Setiap orang berhak untuk sukses, bahagia, dan sejahtera. Tidak ada pembedahan bahwa hanya orang yang cerdas yang berhak sukses dan bahagia. Orang yang dikatakan tolol bukan tidak mungkin bisa menjadi konglomerat. Artinya, Tuhan sudah menentukan garis nasib berbeda antara satu orang dengan yang lain.

Ada orang yang lemah pikir, tetapi kaya raya. Namun, tidak sedikit orang lemah pikir hidupnya sangat mengenaskan. Ada orang cerdas yang sangat kaya, tetapi ada pula orang genius yang hidup begitu sederhana atau bahkan sangat miskin. Manusia hanya berfikir keras dan berusaha sekuat tenaga. Tidak perlu menyalahkan takdir karena bisa menimbulkan stres, stroke, dan depresi.

Orang yang enggan menerima kenyataan merasa bahwa takdirnya tidak adil segingga memicu saraf otaknya bekerja lebih keras. Saraf otak merupakan pengendali semua organ tubuh. Jika otak bekerja terlalu lelah maka kinerja organ-organ tubuh lainnya akan melemah. Berbagai penyakit mudah menyerang akibat kondisi otak yang terbebani berat. Tubuh yang mudah terserang penyakit kian lama semakin rapuh. Jika sudah demikian, bisa mengalami akibat yang paling fatal.

 

 

Ahmad Rury




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline