Lihat ke Halaman Asli

Ruri Andayani

Hanya seorang penyintas kehidupan

Internet is Suck, Tapi Saya Memeluknya Erat

Diperbarui: 17 Juli 2022   20:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo


Puluhan password kubuat, sebagian besar  tak terpegang lagi. Bukan sekadar ada yang meretas, melainkan tersesat di rapatnya belantara android. Begitulah risikonya kalau gaptek. "Internet is sucks", tapi saya memeluknya erat.

Padahal saya sudah berdekatan --meskipun belum menyentuh-- dengan internet setahun sejak PING pertamanya ke Indonesia dari Amerika Serikat. PING kata mbah Google, adalah kependekan dari Packet Internet Network Groper. Tapi sejak itu teknologi internet berlari tanpa nengok-nengok lagi ke belakang untuk mengecek apakah saya sudah nggak gaptek.

Saya ingat waktu itu 1995 saya sedang magang di satu stasiun radio swasta di Bandung yang memiliki divisi redaksi. Suatu hari, pimpinan redaksi mengabarkan bahwa ada bujet untuk bagian redaksi. 

Dia bertanya, bujet tersebut mending dipakai buat internet atau beli ponsel baru? Tampaknya semua awak redaksi memilih ponsel baru. Ponsel --yang saat itu masih cukup eksklusif-- seenggaknya bisa dipakai buat numpang petantang-petenteng dulu di luar kantor saat sedang liputan .
.
Lima tahun kemudian barulah saya benar-benar mulai merasakan tatap muka langsung dengan internet, yakni saat mulai kerja penuh waktu di satu koran lokal Bandung. Email perdana saya, apalagi kalau bukan Yahoo, dibuat di sini.

Saat itu, jangankan menghabiskan ber-giga-gigabyte untuk mengencani berbagai platform media sosial (medsos) atau  berselancar sampai menyelam bareng mbah Google, sekadar curi-curi kesempatan membuka email di komputer kantor saja sudah bahagia lahir batin. Waktu itu hanya 1-2 komputer kantor yang diakseskan ke internet.

Masih ingat sama Astaga.com dan Satunet.com? Nah, dimasa itulah cerita ini terjadi.

NGEBLOG
Tahun 2000-an bergulir dan dengan cepat internet mengambil alih ruang-ruang kehidupan yang masih lowong, yang bagi sebagian orang mungkin tadinya hanya dipakai melamun. Muncullah waktu itu, nama Enda Nasution, pelopor blogger di tanah air, yang saking identiknya dengan blog dia lalu dijuluki sebagai Bapak Blogger Nasional.

Waktu itu saya sedang diberi tugas menggarap halaman mingguan antara lain rubrik hobi, lalu ada masukan dari seorang rekan agar saya menulis tentang hobi ngeblog. Meskipun saya masih tak paham apa itu blog, saya terima saran tersebut.
Waktu itu blog milik Enda dan Raditya Dika jadi referensi.

Bayangkan, menulis tentang blog padahal sampai tulisan dimuat saya sendiri masih belum paham sepenuhnya apa itu blog. Saya masih bertanya-tanya bagaimana alurnya sehingga individu-individu bisa memiliki portal sendiri di internet,  sementara sekelas Astaga.com saja tumbang.

Tapi pemahaman juga kan berproses. Ini menguntungkan saya meskipun dengan mengorbankan ketakpahaman pembaca (hehe).
.
Hingga akhirnya pada 2005, saya mulai cukup paham bagaimana situs pribadi bisa dimiliki oleh siapapun. Tahun pertama kenal blog, saya bikin tiga. Ini juga semacam pelampiasan hasrat menulis karena saat itu saya sudah tak bekerja di media lagi.

Ada tiga pilihan platform yang memasuki  kesadaran saya: Blogspot (Blogger), Wordpress, dan Multiply. Saya memilih Blogspot, tanpa alasan khusus. Mungkin karena kebetulan utak-atik blog pertama saya di situ, lalu jadi merasa paling nyaman di situ.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline