Lihat ke Halaman Asli

Ruri Andayani

Hanya seorang penyintas kehidupan

Mudah Emosi adalah Desain Besar Wanita Ogah Berpolitik

Diperbarui: 16 Maret 2018   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock

Pada Januari 2016, penyidik KPK yang akan menggeledah ruang kerja Yudi Widiana, dihadang oleh Fahri Hamzah (FH). FH membentak penyidik KPK tersebut. Eh, penyidik KPK itu, HN Christian, meskipun sempat tergagap ketika ditanya ihwal senjata yang dibawa petugas, dengan ekspresi wajah nyaris tak berubahmalah balik membentak FH. Keukeuh tak mau disuruh keluar.

Loh, apa hubungannya cerita itu dengan keterwakilan wanita di DPR?Saat saya menonton berita itu, saya membayangkan: saya mungkin sudah ngeperhabis kalau dibentak FH seperti itu. Jangankan dibentak, sekadar adu mulut saja mungkin saya tak kuat. Keburu pingsan di tempat.

Padahal dalam keseharian, saya dianggap teman-teman saya sebagai perempuan yang tegar, jago mengendalikan emosi, tidak mudah menangis. Kenyataannya kalau sudah di rumah, nangis di pojokan atau mewek saat nonton drakor (halah).

Kondisi gampang emosi ini, kadang menghambat untuk berani tampil. Kalau terlibat dalam suatu rapat, saya misalnya memilih diam kalau tak benar-benar perlu untuk bicara.

Kalau ingin mengajukan pertanyaan yang saya pikir cerdas dan berbobot dalam satu forum, sering batal karena belum apa-apa suara sudah gemetar, keringat dingin bercucuran. Pertanyaan berbobot itu pun mendadak kopong bagai kue semprong. 

Sebenarnya saya tak yakin, apakah ini karena saya perempuan? Atau apakah laki-laki pun banyak yang seperti saya.

Sikap mudah emosi dan gampang menangis, diakui atau tidak, telah menjadi domain perempuan. Di sisi lain saya mengamati, pria kebanyakan memang tak seemosif wanita.

Saya tidak sedang berbicara mengenai saya saja, tapi sejumlah teman perempuan saya juga begitu, bahkan hampir semua (meskipun jika diberi akses jalan tol menuju bangku DPR, saya percaya teman-teman saya ini --mungkin saya juga-- bisa saja).

Namun dengan karakter dasarnya yang seperti itu, tanpa disadari wanita akan cenderung lebih mencari aman atau zona nyaman. Jika di rumah saja dan menjadi ibu rumah tangga bisa bahagia dan eksis, kenapa nyusah-nyusahin diri jadi para "pendebat" di parlemen.

Di sini saya tak bicara soal para selebriti manis dan cantik yang menjadi anggota parlemen. Yang berhasil melantai di Senayan karena popularitasnya. Yang mungkin juga lebih banyak sebagai pemanis di kubah hijau Senayan itu. Yang apabila didebat orang macam FH, ya mewek juga.

Sah-sah saja kalau ada yang tak setuju, karena bagaimanapun kajian psikologis ada juga yang menganggap bahwa itu juga disebabkan stereotip bahwa perempuan dianggap tidak apa-apa menangis, laki-laki tampak lemah kalau menangis, dan bahwa faktanya banyak pula perempuan berjiwa baja yang enteng saja berdebat dengan laki-laki, meskipun ini bukan mewakili sifat perempuan secara umum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline