Lihat ke Halaman Asli

Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)

TERVERIFIKASI

Guru SD, Penulis buku

Maafkan, Lupakan, Maka Hati akan Tenang

Diperbarui: 17 Agustus 2024   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi gambar dari Love Pink

Memaafkan itu mudah diucapkan tapi melupakannya rasanya sulit. Banyak orang yang menyampaikan "yo wis tak maafkan, tapi saya tidak bisa kembali baik seperti dulu"

Kalimat itu sering saya dengar dari beberapa teman yang berseteru dengan teman yang lain. Terlihat rasa sakit hatinya. Bahkan  saya pernah menjadi mediasi antar dua sahabat yang saling berseteru untuk bersalaman.

Ya memang keduanya bisa saling bersalaman, di depan saya, namun setelahnya mengatakan "Saya sebenarnya sakit hati saat harus  bersalaman, rasanya terlalu enak memberikan maaf untuknya".

Begitulah saat orang sudah merasa sakit hati yang mendalam. Entah apa sebabnya saya hanya menyampaikan jika memaafkan akan lebih baik dan mengurangi beban dan energi negatif kita.

Saat orang sedang berseteru untuk bertemu saja rasanya tidak sanggup, bawaannya sudah neg dan lebih baik menghindari tatap muka.

Padahal jika mau menanamkan dalam jiwa dan hati kita bahwa semua hubungan manusia ini adalah fana, tak ada yang kekal. Yang kekal adalah hubungan kita dengan Allah Subhanahu wa taala. Demikian yang selalu saya dengar dari ngaji Gus Bahaudin Nur Salim.

Suatu saat saya pernah mendapatkan surat kaleng yang dialamatkan kepada saya. Saat itu tulisan tangan dan diselipkan dipintu masuk rumah.  Di tulis diatas kertas bekas kalender yang sudah tidak terpakai, tulisannya dengan huruf balok dengan tinta merah, kalimatnya pedas dengan nada menghina.

Karena diletakkan di rumah saya otomatis yang dituju adalah saya, sebagai ketua majlis taklim. Maksud dari surat tersebut menuduhkan bahwa  pengurus majlis taklim mengambil laba terlalu banyak dari seragam jamaah.

Karena saya dan pengurus tidak pernah merasa mengambil laba sepeserpun, ahirnya nota pembelian sragam dari toko saya foto copi dan saya bagikan satu persatu kepada anggota, dan jika kurang percaya bisa langsung cek di toko  dengan alamat yang tertera di nota. setelah itu saya baca surat kaleng tersebut di depan jama'ah. 

Selidik punya selidik, ternyata orang yang menyampaikan surat kaleng tadi membandingkan kain yang serupa dengan harga di pasar tradisional, biasanya di pasar harga kain perkilogram, bukan permeter.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline