Beberapa hari terahir ini berseliweran berita tentang tempe. Makanan yang berbahan dasar kedelai itu tiba-tiba booming. Bukan hanya karena langka di pasaran namun juga harga dan bentuknya yang semakin kecil dari biasanya.
Mahalnya minyak goreng belum kembali normal, tiba-tiba dihadapkan pada mahalnya harga tempe di pasaran. Makanan yang semula dianggap biasa bahkan tak berkelas ternyata menjadi heboh ketika keberadaannya tiba-tiba langka, jikapun ada maka harganya pun mahal.
Ya, kemarin tempe dan hari ini tempe lagi yang ku dengar di media elektronik maupun cetak. Lauk yang satu ini selain murah juga dapat menggoyang lidah. Mak-Mak seperti saya jika tak punya lauk di meja makan, maka hidangan alternatif yang saya suguhkan adalah tempe goreng.
Selain mudah masaknya, rasanya juga tak kalah dengan rendang yang ada di bayangan, he he.
Sore itu sengaja saya dolan ke tetangga yang hanya berjarak 10 m dari rumah. Dia buka usaha rumahan yaitu membuat olahan tempe dan tahu. Memang baru beroperasi dua tahun, namun langganannya sudah banyak. Berkat keuletannya dalam menjalankan usaha, saat ini dia tetap bisa memproduksi tempe walaupun harga kedelai melangit.
Di Dusun tempat tinggal saya ada tiga orang membuat usaha tempe, namun karena tingginya harga kedelei dia satu-satunya yang masih bertahan. Sebut saja namanya Mbak Tin. Produksi tempe dan tahu dia olah bersama suami dengan satu pekerja.
Setiap hari dia bisa mengolah 60 kg kedelei untuk pembuatan tahu dan tempe. Ketika saya temui di rumahnya saya mewawancarainya dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
Saya : "Bagaimana Mbak Tin bisa bertahan dengan harga kedelei yang melambung?
Mbak Tin: "Saya siasati dengan mengurangi ukuran tempe, tetap dengan harga persatuannya Rp. 2000,- namun ukurannya tempe saya kurangi. Bahkan saya juga bisa menjual tempe dengan ukuran Rp. 500,- maklum Bu, di desa ada saja orang yang membeli dengan harga gopek".