Saya sempat membaca artikel yang ditulis oleh Ibu Rita Miftahul Janah tanggal 26 Desember 2021 tentang "Kurikulum Prototipe, Gebrakan Terbaru Nadiem Makarim", di kolom chat saya menuliskan "kurikulum 13 saja saya masih thuna-thunuk, kok sudah mau ganti lagi."
Juga membaca artikel Bapak Suparto JW tanggal 29 Desember 2021 yang berjudul "Menjadi Pencuit Berguna, Kurikulum 2022 Indonesia Mau Dibawa ke Mana?" Saya sependapat dengan Bapak Suparto JW yang menyatakan "mau dibawa ke mana Indonesia ini?"
Sebagai guru SD yang ada di pelososk desa, saya kurang tahu betul bagaimana arah kebijakan Pak Menteri, yang kutahu adalah saya menjalankan tugas sebagai guru dan mengabdikan diri untuk mendidik dan mengajar di lembaga tempat saya bertugas, itu saja .
Selebihnya saya berhusnudzan saja, bahwa kebijakan ini sudah mempertimbangkan kelayakan dan kepatutan untuk diterapkan pada sekolah-sekolah pelosok di negeri tercinta ini.
Sebenarnya jika mau survei di lapangan saya dan teman-teman guru yang lain masih menyukai dengan kurikulum KTSP yang dimulai tahun 2007/2008. Kurikulum ini mengacu pada Standart Isi (SI) dan Standart Kompetensi Kelulusan (SKL).
KTSP mudah diterapkan, gampang diterima anak, konsepnya jelas, langkah pembelajaran, dan evalusinya juga tidak bertele-tele. Namun jika saya mengatakan demikian ada pihak lain yang bilang "wah Bu, itu kurikulum kuno."
Aku tak bisa berkata apa-apa, yang saya tahu itu menurut pengalaman saya juga teman-teman, toh pada kenyataannya saya yang merasakan nyaman ketika mengajar dan siswa bisa menerima dengan mudah.
Bukankah salah satu kompetensi guru adalah kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan dan keterampilan guru yang bisa mengelola suatu proses pembelajaran atau proses belajar mengajar dengan peserta didik.
Tapi apapun itu, saya bisa apa jika Pak Menteri sudah menetapkan kurikulum baru, bagi kami guru di pelosok desa seperti saya hanya bisa melaksanakan tugas sami'na wa atho'na.