Latar Belakang
Pandemi Covid-19 terjadi secara menyeluruh pada banyak sekali negara. Covid-19 adalah penyakit menular yg ditimbulkan sang virus corona yg baru ditemukan dalam akhir 2019. Sebagian orang yg terinfeksi virus corona akan mengalami penyakit pernapasan ringan sampai sedang & sembuh tanpa memerlukan perawatan khusus. Orang yg lebih tua, & mereka yg mempunyai perkara medis fundamental misalnya penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis & kanker lebih mungkin menerangkan gelaja yg lebih serius (WHO, 2020).
Anak remaja yg terkena pandemi ini, mengalami impak yg paling rentan, lantaran mereka terpaksa tinggal pada tempat tinggal buat saat yg usang lantaran pengisolasian. Penutupan sekolah, yg menyebabkan hubungan menggunakan sahabat sebaya berkurang dan mengurangi kesempatan buat eksplorasi & kegiatan fisik (Jiao dkk., 2020). Pandemi ini memunculkan pengaruh tidak baik bagi kesehatan & kesejahteraan mental anak-anak, yg mengakibatkan banyak sekali macam perkara kesehatan mental, misalnya kecemasan, stres, depresi, & kesulitan tidur (Galvin, 2020). Kesehatan mental krusial bagi remaja terutama herbi kurangnya kualitas tidur, kesulitan fokus, acapkalikali lupa & bisa menciptakan remaja demotivasi pada belajar sebagai akibatnya mengakibatkan belajar kurang (Fitria & Ifdil, 2020; Nurkholis, 2020).
Berdasarkan hasil penelitian Duan et al. Pada tahun 2020, dalam sebuah studi tentang kesehatan mental anak-anak dan remaja di Tiongkok pada saat merebaknya COVID 19, kecemasan dan depresi terbukti menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan mental anak-anak dan remaja. Hasil penelitian ini mengingatkan kita bahwa anak-anak dan remaja memiliki angka kematian yang relatif lebih rendah daripada orang dewasa dan orang tua, tetapi lebih memperhatikan kesehatan mental anak-anak dan remaja, yang sering diabaikan selama wabah. untuk intervensi psikologis yang akan ditargetkan di masa depan.
Faktor Terganggunya Kesehatan Mental Anak
Menurut Michel Foucault, kesengsaraan, keputusasaan, stres serius, ketakutan yang luar biasa, keterasingan sosial, dan pengucilan adalah aspek yang tak terhindarkan dari keberadaan manusia, dan orang-orang di seluruh dunia menghadapinya dengan cara tertentu. Namun, di zaman modern, penyakit mental dimedikasikan dan didefinisikan sebagai penyakit mental atau depresi, sehingga diperlukan intervensi, regulasi, dan manajemen medis. Anak remaja di masa pandemic seperti saat ini sangat mempengaruhi kesehatan mentalnya, dikarenakan adanya tekanan yang membuat dirinya menjadi stress, seperti dipaksa belajar dirumah, jarangnya interaksi dengan teman sebayanya, dan kondisi di rumah yang tidak nyaman untuk belajar.
Gangguan kesehatan fisik dan mental pada remaja pada masa pandemi merupakan berbagai faktor risiko seperti stres dan tekanan, takut sakit, takut kehilangan keluarga, masalah keuangan, kehilangan dukungan keluarga, dan kehilangan kesempatan untuk pergi. fasilitas kesehatan, kurangnya kontak sosial antar teman, dan kurangnya akses ke sekolah dan fasilitas olahraga selama liburan atau ketika meninggalkan rumah, yang dapat disebabkan oleh penumpukan. Anak-anak dan remaja sangat rentan terhadap risiko stres jangka panjang selama pandemi ini, sehingga kesehatan mental mereka perlu mendapat perhatian khusus selama dan setelah berakhirnya pandemi. Depresi dan kecemasan adalah gangguan kejiwaan yang paling umum pada anak-anak dan remaja, dan gangguan ini dapat memiliki efek samping yang serius dan bahkan menyebabkan ide bunuh diri (Courney. D, 2020). Jarnawi (2020) juga menyimpulkan bahwa pandemi ini tidak hanya mengganggu tatanan kehidupan, tetapi juga menyebabkan gangguan mental seperti stres berupa ketakutan, kecemasan, dan ketakutan.
Aspek kecemasan, dijelaskan oleh Stuart dalam Annisa & Ifdil (2020), yaitu adalah aspek perilaku, kognitif, dan afektif (emosional). Aspek perilaku meliputi kegelisahan, ketegangan fisik, gemetar, reaksi terkejut, berbicara cepat, kurang koordinasi, rentan terhadap cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, menahan diri, melarikan diri dari masalah, penghindaran, termasuk hiperventilasi, dan tingkat gairah yang tinggi. Aspek kognitif meliputi kehilangan perhatian, kurang konsentrasi, pelupaan, salah penilaian, pekerjaan, pikiran terganggu, wilayah sensorik berkurang, kreativitas berkurang, kebingungan, sangat hati-hati, kesadaran diri, kehilangan objektivitas, kontrol. penglihatan, ketakutan akan cedera atau kematian, kilas balik, mimpi buruk. Dan terakhir aspek afektif (emosional) seperti mudah teralihkan, tidak sabaran, gelisah, tegang, gugup, cemas, waspada, takut, khawatir, takut, baal, rasa bersalah, dan malu.
Kesehatan mental anak remaja, yang disebabkan oleh pandemi dan jarak sosial, merespons stres secara berbeda pada berbagai tahap perkembangan. Namun, anak-anak di semua tahap perkembangan memiliki peningkatan insiden depresi, kecemasan, dan gejala pasca-trauma. Penilaian kesehatan mental dilakukan pada berbagai waktu. Ini mungkin mencerminkan tingkat pemahaman yang berbeda tentang penyakit, gejolak sosial, atau jarak sosial. Banyak orang tua yang lebih banyak bekerja daripada anak-anak mereka. Akibatnya, mereka tidak memiliki kendali atas waktu yang mereka habiskan untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka sesuai permintaan. Berurusan dengan situasi ini membutuhkan banyak koordinasi sosial dan pribadi. Peningkatan risiko anak mengalami tekanan mental cenderung meningkatkan risiko penderitaan anak.
Solusi
Solusi yang ditawarkan bagi orang tua untuk menjaga kesehatan mental pada anak yaitu seperti menanamkan optimisme pada anak, memberikan informasi positif tentang pandemi, dan menjauhkan mereka dari putus asa ketika tidak bisa bermain, bertemu teman, atau pergi ke sekolah. Selain itu, orang tua diharapkan lebih sering menemani anaknya belajar. Adanya orang tua dalam proses belajar dapat memotivasi anak dan menikmati waktu belajarnya. Membantu anak-anak di masa-masa sulit, mengarahkan mereka pada cara menyelesaikan tugas, dan memberikan kesempatan belajar kreatif sehingga kegiatan belajar online lebih optimal. Dan orang tua perlu membangun keintiman dengan anak-anak mereka dengan menunjukkan perhatian yang terbaik, menjadi pendengar yang baik, dan selalu menjadi teman yang siap untuk anak-anak mereka. Dengan cara ini, anak-anak mengembangkan kasih sayang, menjadi terbiasa berkomunikasi, dan berbicara secara terbuka tentang kesulitan yang mereka alami.