Lihat ke Halaman Asli

Komentar Atas Berita: "Pajak Orang Kaya Minim"

Diperbarui: 14 Mei 2016   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Itu judul berita di Kompas, Sabtu 14 Mei 2016.  Berita ini tidak mengejutkan, sudah menjadi pengetahuan khalayak  ramai.  “Orang-orang sangat kaya belum mampu dijaring DJP, instrumen penjaring belum memadai”, kata Gunadi, guru besar  yang juga  pengamat perpajakan.  Penerimaan pajak PPh Orang Pribadi, bukan penerima gaji/upah, sangat, saya ulangi sangat kecil, hanya Rp 8,3 triliun.  Maka para pakar bicara tentang reformasi struktural dan intensifikasi  pajak.  Penulis tidak akan berkomentar,  karena beda level, belum mengerti apa itu instrumen penjaring , reformasi struktural dll.  

 Yang menarik bagi penulis adalah ucapan Direktur P2 Humas DJP, yang menekankan perlunya kepatuhan pelaporan dan pembayaran pajak.  Data terkait penghasilan dan kekayaan orang-orang kaya itu sulit diperoleh DJP,  katanya.  Pertanyannya kok sulit, menurut penulis itu adalah tugas pokok  DJP.  Ini yang akan penulis soroti.  Sangat aneh, tugas pokok tidak bisa dilaksanakan.  Data penghasilan dan kekayaan itu wajib dilaporkan  ke aparat pajak setiap penyampaian  SPT.  Hanya ada dua  kemungkinan, orang-orang kaya itu  tidak menyampaikan SPT, atau data yang ditulis di SPT tidak benar.  Kalau begitu tentu penyelesaian tidakl ah sulit-sulit amat, tinggal hukum ditegakkan.  Disini dapat ditarik kesimpulan,  aparat pajak yang belum bekerja optimal  sesuai  aturan.   

Yang mengherankan lagi aparat pajak sampai  terpaksa mengejar-ngejar data  transaksi/rekening bank  wajib pajak,  termasuk transaksi kartu kredit dan lainnya.  Sampai  ada yang bicara di forum “Economic Challenges” Metro TV, orang jadi takut menggunakan kartu kredit,  dan ini dituding salah satu penyebab  pertumbuhan ekonomi   kwartal  pertama  2016 dibawah perkiraan.   Ini berlebihan dan sudah keluar dari pokok persoalan.  Persoalan dasarnya ,  DJP tidak punya data wajib pajak yang rapi.  Kalau  setiap menyampaikan  SPT , wajib  pajak  menyampaikan data penghasilan dan kekayaan,  ya apa lagi ?  Kalau ada kecurigaan data yang disampaikan per SPT tidak benar, turunkan saja pemeriksa  pajak.  Kalau sudah begitu baru aparat pajak boleh tanya sana-sini untuk cek silang, bukan sebelumnya. 

Seandainya data perpajakan di DJP sudah rapi, pemeriksaan pajak itu tidak akan memberatkan.  Misalnya si  Kuman 10 tahun yang lalu kekayaannya baru  Rp 500 juta, sekarang sudah Rp 10 milyar.  Kalau ada kecurigaan ybs ngemplang bayar pajak, tinggal kumpulkan semua SPT  ybs dan turunkan pemeriksa pajak,  kebenaran akan terkuak.   Ini hanya sekali dalam 10 tahun, tidak memberatkan.

Nah yang  jadi persoalan mungkin keharusan menyampaikan  data kekayaan dalam SPT dasarnya kurang kuat.  Pemecahan tentu dengan merevisi  undang-undang  pajak dan itu tidak mudah dilakukan.  Tapi ada jalan keluar,  dengan meminta fatwa MK bahwa penyampaian data kekayaan dalam SPT itu wajib.  Penulis yakin MK akan setuju  mengingat  kekayaan dan penghasilan sebenarnya itu-itu juga, kekayaan itu adalah  penghasilan yang menumpuk.   Itu saja.

Rusdi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline