Itu judul berita di Kompas, Sabtu 14 Mei 2016. Berita ini tidak mengejutkan, sudah menjadi pengetahuan khalayak ramai. “Orang-orang sangat kaya belum mampu dijaring DJP, instrumen penjaring belum memadai”, kata Gunadi, guru besar yang juga pengamat perpajakan. Penerimaan pajak PPh Orang Pribadi, bukan penerima gaji/upah, sangat, saya ulangi sangat kecil, hanya Rp 8,3 triliun. Maka para pakar bicara tentang reformasi struktural dan intensifikasi pajak. Penulis tidak akan berkomentar, karena beda level, belum mengerti apa itu instrumen penjaring , reformasi struktural dll.
Yang menarik bagi penulis adalah ucapan Direktur P2 Humas DJP, yang menekankan perlunya kepatuhan pelaporan dan pembayaran pajak. Data terkait penghasilan dan kekayaan orang-orang kaya itu sulit diperoleh DJP, katanya. Pertanyannya kok sulit, menurut penulis itu adalah tugas pokok DJP. Ini yang akan penulis soroti. Sangat aneh, tugas pokok tidak bisa dilaksanakan. Data penghasilan dan kekayaan itu wajib dilaporkan ke aparat pajak setiap penyampaian SPT. Hanya ada dua kemungkinan, orang-orang kaya itu tidak menyampaikan SPT, atau data yang ditulis di SPT tidak benar. Kalau begitu tentu penyelesaian tidakl ah sulit-sulit amat, tinggal hukum ditegakkan. Disini dapat ditarik kesimpulan, aparat pajak yang belum bekerja optimal sesuai aturan.
Yang mengherankan lagi aparat pajak sampai terpaksa mengejar-ngejar data transaksi/rekening bank wajib pajak, termasuk transaksi kartu kredit dan lainnya. Sampai ada yang bicara di forum “Economic Challenges” Metro TV, orang jadi takut menggunakan kartu kredit, dan ini dituding salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi kwartal pertama 2016 dibawah perkiraan. Ini berlebihan dan sudah keluar dari pokok persoalan. Persoalan dasarnya , DJP tidak punya data wajib pajak yang rapi. Kalau setiap menyampaikan SPT , wajib pajak menyampaikan data penghasilan dan kekayaan, ya apa lagi ? Kalau ada kecurigaan data yang disampaikan per SPT tidak benar, turunkan saja pemeriksa pajak. Kalau sudah begitu baru aparat pajak boleh tanya sana-sini untuk cek silang, bukan sebelumnya.
Seandainya data perpajakan di DJP sudah rapi, pemeriksaan pajak itu tidak akan memberatkan. Misalnya si Kuman 10 tahun yang lalu kekayaannya baru Rp 500 juta, sekarang sudah Rp 10 milyar. Kalau ada kecurigaan ybs ngemplang bayar pajak, tinggal kumpulkan semua SPT ybs dan turunkan pemeriksa pajak, kebenaran akan terkuak. Ini hanya sekali dalam 10 tahun, tidak memberatkan.
Nah yang jadi persoalan mungkin keharusan menyampaikan data kekayaan dalam SPT dasarnya kurang kuat. Pemecahan tentu dengan merevisi undang-undang pajak dan itu tidak mudah dilakukan. Tapi ada jalan keluar, dengan meminta fatwa MK bahwa penyampaian data kekayaan dalam SPT itu wajib. Penulis yakin MK akan setuju mengingat kekayaan dan penghasilan sebenarnya itu-itu juga, kekayaan itu adalah penghasilan yang menumpuk. Itu saja.
Rusdi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H