Lihat ke Halaman Asli

Koruptor

Diperbarui: 14 Maret 2017   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ingin menjadi koruptor....Hidup di negri yang kotor....Maling teriak.... MALING!!!!!Itu hal yang sudah biasa.....kesejahteraan hanya.....ngimpi di siang bolong.....Hanya korupsi yang bisa dilakukan....Mencari cari celah.... Peraturan...Munafik ya munafiklah....Makan gaji buta tak akan cukupkan harta kami....., hey.."

Ini sebagian nyanyian protes sarkasm menyerah dengan keadaan mengutuki maling kelas atas negri ini, bukan apa apa, atas bawah pun pasti ada yang namanya Maling, musti sedikit prihatin, tapi tetap selaw lah biar ndak terlalu frustasi..., abis mau gimana lagi, paling mengurangi..., harus ditanamkan dari semenjak dini, terkadang ironisnya, banyak yang sekolah tinggi... tinggi hanya untuk bisa korupsi...., parah....,

ini ada segelintir cerita tentang eKTP yang saya kutip dari naskah seorang teman, dengan niat menjabarkan kenyataan secara opini;
Di Indonesia orang jujur banyak. Orang jujur yang berkuasa juga banyak. Tapi yang tidak banyak adalah orang jujur, berkuasa, sekaligus berani. Ini yang sedikit. Rata-rata yang jujur dan berkuasa masih kurang keberanian. Keberanian untuk menindak teman separtai, keberanian untuk melaporkan sejawat yang korup, keberanian untuk menindak atasan yang bersalah, keberanian untuk mengungkap ke publik segala kebobrokan. Ini yang miskin. Tapi bisa dipahami. Karena hukum masih banyak dipengaruhi kepentingan politik. 

Masih belum berdiri tegak tanpa intervensi. Orang jujur yang salah pergaulan bisa saja masuk penjara. Jika saja pemerintah, KPK, aparat keamanan yang jujur dan berkuasa tahu betapa besar potensi korupsi ini, tentu saja kita tidak perlu kebobolan. Mungkin sekarang cara berpikirnya harus dimulai dengan kecurigaan, kalau ada anggaran 100% maka pangkas 30% tapi hasilnya harus sama sesuai rencana, kemungkinan besar ini dilakukan tetap bisa tercapai. Jika setiap pembuatan kartu untuk—katakanlah—100 juta penduduk bisa makan biaya triliunan rupiah, maka satu kartu elektronik multi fungsi, bisa menghemat puluhan triliun setiap tahun.Karena itu ide membuat KTP elektronik sangat masuk akal, sekalipun ketika diajukan menelan biaya hingga Rp 6,9 triliun. 

Besar, tapi untuk jangka panjang akan jauh menghemat dan lebih bermanfaat.Akan tetapi, kadang kita lupa, ini Indonesia. Indonesia yang sama. Negara yang sejak orde baru sering masuk peringkat sepuluh besar negara terkorup, dan ketika reformasi digadang-gadang dengan wacana ‘potong satu generasi’, tapi ternyata generasi penggantinya juga bermental koruptor. Konon,  ekstra cost-nya di negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini  bisa mencapai 30% akibat korupsi. Sederhananya, setiap angka yang diajukan, setiap biaya yang kita keluarkan, besar kemungkinan sudah memasukkan anggaran untuk dikorupsi. 

Lebih buruk lagi kekuatan pengaruh uang yang besar malah  bukan sekadar digunakan untuk menutup mulut dan mengekang keberanian orang jujur, tapi juga mulai menggoyahkan kejujuran sosok-sosok yang dulu dikenal sangat amanah. Nama-nama yang masuk dalam daftar penerima uang korupsi KTP elektronik sebagian besar masih mempunyai pengaruh yang kuat. Lebih menyedihkan, sedikit di antaranya bahkan figur yang dulu dikenal antikorupsi dan meraih penghargaan sebagai tokoh antikorupsi. 

Sudah separah itukah? Bisa. Harus bisa. Beberapa cara di bawah ini mungkin layak dilakukan.Pertama, cermati daftar partai yang paling banyak terlibat kasus korupsi. Baca dan analisa. Lalu jangan pilih siapa pun calon dari partai tersebut. Itu adalah hukuman yang mungkin bisa dilakukan rakyat untuk para koruptor.Selanjutnya, lihat partai itu berkoalisi dengan partai apa. Allah berfirman, orang beriman tolong menolong dengan orang beriman. Sebaliknya, orang sesat akan saling mendukung untuk sama-sama mencegah dari tegaknya iman. 

Karena itu sangat lumrah dan alami, koruptor bersahabat dengan koruptor dan partai koruptor berkoalisi dengan partai koruptor.Hukum partai korup dengan tidak mendukung partai tersebut, tidak memilih calonnya, dan juga partai yang berkoalisi. “Tapi tidakkah semua partai ada koruptornya?”Benar, tapi ada partai yang koruptornya adalah oknum, ada juga yang korupsinya merupakan bagian dari budaya dan tradisi partai. Ada partai yang koruptornya sedikit, ada yang melimpah. Pilih yang terbaik dari keburukan yang tersedia. Rakyat harus memilih.Proyek KTP elektronik adalah salah satu dari gunung es yang terlihat, sementara di bawahnya tersimpan bongkahan es yang jauh lebih besar dan lebih parah.

Oleh seorang Teman's dari media lain

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline