Lihat ke Halaman Asli

Semiotika Birahi

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku adalah manusia bernafsu. Birahi jalangku keluar saat hawa panas menimpaku. Jiwaku penuh api birahi. Otakku memanas. Nafasku terengah hebat. Desahku merah. Tatapanku hitam jernih.

Ya.. Rasanya, siapapun ingin ku terkam kuat-kuat. Aku ingin menyetubuhi kamu, dia, dan mereka.

Kalian, yang kirimkan aku sekumpulan ulat bulu untuk mengikis tubuhku.

Kalian, yang menghadirkan laba-laba berpunggung merah untuk melumpuhkan tulangku.

Kalian, yang memanggilkan polisi untuk menjebloskanku ke dalam penjara hina.

Puasku, jika sperma dan ovum itu berteriak muntah, menjadi sampah. Busuk, dibuang, jadi lemah.

Sudah tak ada lagi kekuatan, bukan? Haha! Lihatlah, belatung-belatung keluar dari dalam tanah. Menjulurkan lidahnya sambil menatap panas. Tergodakan kalian? Sepertinya belatung-belatung itu tergoda pada penampakan kalian yang mahadaya indahnya. Kalian siap dikebiri? Kurasa, gerombolan belatung itu siap mengebiri.

Lalu, kapan aku orgasme? Aku akan sampai di puncak orgasme, ketika sampah itu menjadi tulang belulang yang rapuh. Yang tak mungkin bisa kuukir kembali. Tapi tenanglah, kawan! Tulang-tulangmu akan kusimpan di gudang rahasiaku. Akan kuukir nama-namamu. Menjadi saksi birahiku yang terpuaskan. Terimakasih atas pengorbananmu, kawan! Merelakan tubuh dan nyawamu, untuk "birahi"ku.

Selamat mati.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline