BRICS---akronim yang merangkum lima kekuatan besar dari Timur hingga Selatan: Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan---tampil seperti siluet di bawah bayang-bayang Barat. Dalam jejak sejarah yang selama ini dikendalikan oleh dominasi Barat, munculnya BRICS memancarkan harapan bagi negara-negara berkembang. Namun, tak semua pandangan tentang aliansi ini bersifat netral. Teori framing oleh Robert N. Entman mengajarkan kita bahwa media sering kali memilih potongan cerita yang ingin mereka tonjolkan. Maka, bagaimana dunia memandang BRICS melalui lensa-lensa yang diwarnai oleh kepentingan dan kecemasan?
Seperti hujan yang membawa kehidupan bagi tanah kering, BRICS dianggap oleh sebagian media di Global Selatan sebagai oase baru dalam tatanan ekonomi yang tak seimbang. Di sisi lain, media Barat kerap menggambarkannya sebagai badai yang mengancam kestabilan global. Di sinilah permainan framing bekerja; media memilih untuk memperlihatkan BRICS sebagai ancaman atau justru sebagai harapan, tergantung siapa yang melihat dan siapa yang berkepentingan.
Tindakan BRICS yang memperkenalkan alternatif mata uang, misalnya, dipandang sebagai usaha untuk menggoyahkan pondasi dolar AS. Bagi banyak media di Amerika Serikat dan Eropa, ini menjadi ancaman yang tak bisa diabaikan. Seperti batu kecil yang dilemparkan ke kolam tenang, gelombangnya menyebar hingga jauh, menciptakan kekhawatiran tentang berkurangnya kekuasaan finansial mereka. Sementara di negara berkembang, gagasan BRICS ini dipuja sebagai perlawanan simbolik atas ketidakadilan.
Namun, seperti fajar yang tak dapat dihentikan, kehadiran BRICS terus berkembang. Masing-masing media, dengan caranya sendiri, mengukir citra aliansi ini, membentuk persepsi dunia. Pertanyaan yang tersisa adalah: apakah BRICS adalah bayangan gelap di bawah matahari superpower, atau justru cahaya yang menunjukkan jalan baru bagi dunia yang lebih adil?
Indonesia, dengan alam yang luas dan ekonomi yang berkembang, tampak seperti pemain yang siap memasuki panggung BRICS. Banyak yang bertanya-tanya, apakah BRICS adalah panggung yang tepat bagi Indonesia, ataukah ada sandiwara besar di balik ajakan ini? Dalam sorotan media, wacana Indonesia bergabung dengan BRICS menjadi kisah yang penuh warna---kadang cerah, kadang suram.
Bagi sebagian media lokal, BRICS adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk memperkuat pengaruhnya. Namun, media internasional memiliki pandangan yang beragam. Sebagian melihatnya sebagai potensi besar, sementara yang lain menyoroti tantangan yang harus dihadapi Indonesia jika bergabung. Menggunakan analisis framing, kita bisa melihat bahwa media memilih untuk menggambarkan keputusan ini sebagai peluang atau justru sebagai risiko besar.
Ada harapan bahwa BRICS akan memberikan Indonesia ruang untuk berdiri lebih tegak di panggung ekonomi global, dengan akses pada kerja sama yang lebih adil. Namun, seperti bayangan di atas panggung, keraguan masih menggantung. Indonesia harus memutuskan apakah ini adalah langkah terbaik atau sekadar ilusi.
Meskipun janji kemitraan menarik, BRICS bukanlah jaminan. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi, mulai dari stabilitas politik hingga kepercayaan global. Namun, siapa tahu, mungkin Indonesia adalah pemain yang akan membawa warna baru bagi BRICS.
Pada akhirnya, BRICS adalah cermin dari harapan dan ketakutan, sebuah kisah yang bergantung pada siapa yang menulisnya dan siapa yang membacanya. Dunia menunggu, dan saatnya BRICS menunjukkan wajah aslinya.