Lihat ke Halaman Asli

“Mengenang 20 Tahun Kematian Marsinah” ATKI-HK Gelar Doa dan Pagelaran Seni

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13685071491937850030

Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang tergabung di ATKI-HK menggelar doa bersama dan pagelaran seni dalam rangka mengenang Marsinah, aktifis buruh yang dibunuh 20 tahun lalu karena memperjuangkan kenaikan gaji di pabriknya di Sidoarjo. Bertema Marsinah 20 Years Cry for Justice, acara ini diikuti 120 orang dengan pakaian serba hitam simbol duka.

“Marsinah adalah pahlawan. Dia buruh dan seorang perempuan yang tidak kenal takut menghadapi apapun demi memperjuangkan hak-hak kaumnya di tengah tindakan rejim tangan besi Suhato ketika itu. Semangatnya benar-benar tauladan bagi kami semua” jelas Ganika di sela-sela acara.

Seperti halnya perempuan-perempuan desa yang bercita-cita tinggi, Marsinah yang tidak punya biaya untuk kuliah setelah lulus SMA, akhirnya terpaksa bekerja sebagai buruh pabrik di PT. Catur Putra Surya. Upah rendah dan beban kerja berat memaksa para buruh untuk menuntut kenaikan gaji sesuai standar UMR yang telah ditetapkan pemerintah ketika itu. Namun tuntutan tersebut tidak disambut baik pemilik perusahaan dan berakhir dengan penangkapan hingga pembunuhan terhadap Marsinah di tahun 1993.

“Persoalan yang diperjuangkan Marsinah dan kawan-kawannya di masa itu masih terus kami hadapi hingga hari ini. Kemiskinan, perampasan tanah, sistem outsourching dan upah murah memaksa pemuda-pemudi desa menggadaikan tenaganya sebagai buruh di dalam dan luar negeri.” tutur Ganika di tengah orasinya.

Selama satu jam program, Tim Kesenian ATKI-HK mempersembahkan beberapa karya seperti puisi dan theater yang mengangkat kondisi buruh Indonesia hari ini dan semangat perjuangan Marsinah.

“Kematian Marsinah bukti keberpihakan pemerintah kepada pengusaha dan bukan rakyatnya sendiri. Tentara bukan lagi untuk melindungi rakyat tapi membungkam mereka yang berjuang mempertahankan hak-haknya. Dan kekerasan militer ini masih berlangsung hingga hari ini” tegasnya

Ganika menjelaskan peristiwa kekerasan militer masih kerap terjadi seperti bentrok polisi dengan petani di Mesuji hingga 30 petani ditembak mati, di Sumatra 60 petani luka tembak dan 1 anak kecil mati.  Menurut AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria), selama kurun 2012 tercatat 156 petani ditahan, 55 dianiaya, 25 luka tembak dan 3 orang tewas.

Ironisnya Indonesia dan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinobatkan dengan berbagai julukan termasuk sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di antara negara-negara G-20, negara demokratis dan toleran dengan perbedaan, dan lain sebagainya. Namun penobatan ini berbeda jauh dengan yang dirasakan rakyat Indonesia. Kebijakan-kebijakan negara yang merugikan rakyat seperti kenaikan BBM yang akan segera disahkan mendorong rakyat makin kritis dan melawan. Tetapi selalu ditanggapi dengan moncong senjata. Bahkan tahun ini pemerintah rencananya akan mengesahkan RUU Keamanan Nasional dan RUU Ormas untuk membatasi hak bersuara dan beroganisasi.

“Rejim Suharto sudah jatuh dan jangan biarkan kekejamannya hidup kembali melalui pemerintahan hari ini. Kita harus terus menuntut demokrasi sesungguhnya, menghentikan kekerasan militer dan mencabut kebijakan negara yang merugikan. Buruh Migran juga ingin pulang ke rumahnya sendiri tetapi tidak akan terwujud selama perubahan sosial sejati belum terjadi.###

[caption id="attachment_253970" align="alignleft" width="960" caption="foto tim kesenian ATKI-HK yang sedang menampilkan bodymovement"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline