Sekitar pukul 6.40 pagi, saya mencari adik saya untuk mengambil kunci kos di sekolahnya, di SMK * Malang. Karena kosan adik saya hanya berjarak sekitar 100 meter, maka saya berjalan kaki kesana dan motor saya tinggal di halaman kosnya.
Sesampainya di sekolah, saya menunggu di pos satpam bersama seorang satpam (jelasnya) menelepon adik melalui handphonenya. Hanya saja, tidak ada tanda-tanda adik akan mengangkat telepon. Karena itu, saya langsung memutuskan untuk menghubungi resepsionis sekolah untuk dapat memanggilkan adik saya.
Siapapun yang mendengar kata resepsionis, pasti akan membayangkan seseorang yang (kadang) cantik dan dengan ramah melayani siapapun yang datang dan bertanya padanya. Namun tidak seperti itu yang saya dapatkan. “mungkin sekarang siswanya lagi berdoa, setelah selesai berdoa akan saya panggilkan,” kata ibu resepsionis yang kebetulan nggak begitu cantik.
Sang resepsionis ini membuat alasan yang sulit saya percaya karena:
a.Para siswa di luar masih berduyun-duyun menuju kelasnya.
b.Belum ada bel masuk
c.Si resepsionis masih sibuk dengan barang-barang dan make up-nya.
d.Combo paket a+b,
e.Combo paket a+b+c.
Saya pikir, daripada menunggu adik, mending saya langsung berangkat bekerja. Jadilah saya berjalan kembali menuju kos. Ketika baru mau keluar ruang resepsionis, saya bertemu dengan satpam yang tadi.
“Sudah ketemu adeknya, mas?” Tanya si satpam sok cool sambil jalan.
“Belum, mas. Nggak jadi, saya mau langsung berangkat kerja aja. Mari,” jawab saya sambil lalu sambil agak membungkuk dan terus berjalan.
Dari kejauhan, saya melihat pagar sekolah sudah ditutup. Kaget, tapi tidak percaya, saya berlari ke arah pagar. Sial, pagar sudah digembok dan dikunci. Saya melihat jam tangan menunjukkan pukul 6.55 WIB.
“tenang. Mungkin jam 7 tet bakal dibuka. Naik motor ke kantor dari sini cuma 5 menit. Santai,” begitu pikirku, lalu aku menuju kursi yang ada di pos satpam dengan tenang, lalu duduk. Kemudian, surprise ke dua dimulai. Dari kursi di pos satpam itu, saya baru menyadari ada tulisan yang menggantung di pagar. Tulisan itu ditulis (jelasnya) di papan yang agak transparan sehingga bahkan bisa dibaca dari belakangnya.
“Pagar sekolah ditutup pukul 06.45 dan dibuka kembali pukul 07.40. ttd, kepala sekolah.” Kata papan itu sambil tertawa setan.
Panik, saya kembali ke ruang resepsionis. Si satpam tadi masih absen.
“mas, ini saya mau kerja bisa nggak pagarnya dibuka sedikit biar saya bisa keluar?” Tanya saya sambil pasang muka pucat-melas. Si satpam selesai tanda tangan absensi.
“Nggak bisa, Mas. Kebijakan sekolah,” kata satpam sambil lalu. Masih sok cool. Dia berjalan menuju pos satpam. Saya mengikuti di belakangnya sambil tertunduk lesu.
Di pikiran saya cuma ada pikiran bagaimana harus menjelaskan bagaimana caranya menjelaskan ke pak Bos kalau saya telat gara-gara ditahan pihak sekolah. Sedangkan dua hari sebelumnya saya tidak masuk kerja karena sakit.
Telepon masih memiliki pulsa. Aman. Telpon pak bos paling Cuma abis 1000 perak. Gue harus segera hubungin pak bos.
Kriiingg… Kriiingg… (sebenernya udah jarang ada hape yang masih bunyi kayak gini. Tapi whatever lah.
“Pak bos, masih ingat saya? Saya Rizki, Pak. Anu pak…. Mohon maaf saya terlambat kerja hari ini,” kata budak Rizki.
“Kalau masih sakit, nggak usah masuk dulu nggak apa-apa,” kata Pak bos sambil mancing upil.
Ah, pak bos sungguh pengertian.
“Nanti gajimu gua potong 50 rebu per hari gak masuk,” lanjut pak bos.
“Tidaaaak!! Pak, saya akan masuk hari ini, tapi agak terlambat. Pasti! Tunggulah saya, Pak!”
“Kenapa lu terlambat?”
“Karena saya ditahan sama pihak sekolahnya adek saya, Pak,”
“Lu masih suka mencet-mencet hidungnya guru-guru cantik di sekolah? Bertobatlah kisanak. Oke, kalo gitu potongannya 100 rebu per hari,”
Aaaaarrggghhh!!!!!!
Saya terbangun dari lamunan dan mencoba mengingat faks terakhir yang masuk ke kantor hari kamis minggu lalu. Dalam faks itu, Pak bos ada rapat di hotel Pinggir Kali (coba anda english-kan, dan anda akan mendapatkan nama hotel yang sebenarnya) pada hari ini. Jadi, ya, kupikir saya akan baik-baik saja sekalipun saya berangkat jam 12 siang. Santai.
Tapi ternyata nggak bisa seperti ini, bagi seorang professional seperti saya, telat itu adalah kehancuran. Well, sebagian besar adalah karena setiap keterlambatan memiliki potensi pemecatan profesi sekaligus penghancur masa depan jadwal pernikahan yang telah di skedul dengan rapi.
Saya duduk di kursi pos satpam lagi.
Ada seorang mahasiswa PPL (Praktek Pengalaman Lapangan) dari Universitas Murah (UM) berjalan dengan gagah.
Chubby dan imut sih sebenernya. Kepalanya nyaris gundul dan sekilas saya pikir itu cilok berjalan. Tapi okelah, gagah. Pake batik hitam-putih yang press body yang memperlihatkan lekuk perut yang mirip masa 6 bulan kehamilan, celana kain warna hitam, dipadu dengan sepatu pantofel, dan dengan bangga memakai almamater yang pernah saya miliki (tapi bukan berarti anak ini make almamater bekas saya lho ya) berwarna biru dongker.
Dan gayanya itu loh… uhhh… berkaca pinggang, jalan ala super junior, dan pipi tembemnya yang seakan minta dicemplungin ke rawon panas.Seumpama saya cewek dan dia gak mirip trenggiling, mungkin saya akan jatuh hati padanya.
Dari caranya berjalan, arah perjalanannya yang sepertinya gak punya tujuan pasti, dan gayanya yang uhuy, mantan playboy seperti saya pun pasti tahu kalo dia lagi ngincar siswi-siswi cantik dengan masa depan suram yang bisa memberikannya perbaikan keturunan.
[caption id="attachment_331394" align="alignright" width="300" caption="Pagar sekolah pembawa derita. Sayang saya motonya pas mas Cilok Berjalan udah gak di lokasi. Deal with it."][/caption]
Dia berjalan dari ujung pagar satu ke ujung lainnya. Seperti yang tadi saya bilang: tidak punya tujuan pasti selain mengambil perhatian para siswi yang berada di luar pagar lantaran terlambat datang.
Terlambat datang…
Ah, sudah pukul 7.10… Lima menit lagi, kantor akan memulai rutinitas apel pagi yang biasanya dilanjutkan absen. Dan saya harus datang terlambat.
Bekerja itu nyaris sama seperti main sepak bola. Hanya saja, kalau di sepak bola, pelanggaran yang keras dapat 2 kartu, kuning dan merah. Kalau di kantor saya, warna kartunya lumayan banyak, mejikuhibiniu.
Walaupun warna dan jumlah kartunya banyak, tapi kalo dapat kartu karena telat gara-gara ditahan sama sekolahnya adek, itu rasanya seperti ketika Wayne Rooney mentakling bola yang digiring oleh Messi, lalu dia (Rooney, bukan Messi) dapat kartu kuning karena Victor Valdes cedera. Tidak representatif, tapi yah kira-kira seperti itulah rasanya.
Tidak mau bernasib sama seperti Rooney, saya kembali ke ruang resepsionis. Disana, saya melihat seorang guru bertampang galak yang saya yakini memiliki nama alias Mister Golok Terbang atau Raja Pentung Api karena sering bikin sate dari nilai merah raport muridnya.
Saya memberanikan diri untuk bertanya pada beliau. Telan ludah.
“Pak, nyuwun sewu, saya mau kerja ini, bisa tidak pintu pagarnya dibuka sebentar cuma buat saya lewat?”
“Nggak bisa, Mas. Kebijakan sekolah. Maaf,” kata Mister Golok Terbang tanpa senyum dan dengan nada suara yang cocok untuk mengisi suara Grandong di serial cantik Misteri Gunung Merapi feat. Panah Asmara Arjuna.
Ah, pak guru satu ini terlalu mengerikan untuk diajak ngobrol.
Atau memang sekolah ini sangat menjaga kualitasnya sampai-sampai wali muridpun harus mematuhi peraturan yang dibuat untuk ‘membungkus’ para murid. Kalau memang seperti itu alasannya, oke, saya bisa memaklumi.
I mean, well, this strict rule made for the sake of our next better generation. So, why not? I like the style. Then I’ll play along.
“Lima menit lagi ya, mas,” lanjut Raja Pentung Api yang di telinga saya terdengar seperti lagi diiringi We Are The Champion milik Queen. Ow yeah, I love it!!
Lima menit kemudian, pintu pagar dibuka oleh mas Satpam. Saya bergerak menjauhi sekolah, dan para siswa terlambat bergerak mengumpul di depan pagar untuk mencicipi pentung api atau golok terbang pak Guru.
Sekolah ini sangat bagus. Ketat, tapi bagus.
Tapi dibelakang mereka, ternyata ada beberapa mahasiswa PPL dari kampus yang sama dengan mahasiswa PPL yang tadi. Lebih memalukan lagi, para mahasiswa yang datang untuk mengajar, ternyata sama terlambat dengan muridnya.
Kantor, Malang
Kamis, 23 Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H