Lihat ke Halaman Asli

Mie Instant Kebersamaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya tersentak pukul tiga pagi. Di luar hujan menderas dengan sekali-kali kilat menyerang. Dengan bantuan cahaya kelap-kelip seluluer, saya menjangkau sakelar lampu. Alamak, mati lampu! Sekonyong-konyong firasat buruk melanda saya.

Sahur… Sahur… Sahur saya…

Teman sekamar  saya yang masih tertidur pelan-pelan saya goyangkan badannya. Setelah saya sampaikan  peristiwa paling aktual, ia tersentak dan saya tahu kecemasan menjalar dalam pikirannya. Sama seperti saya.

Betapa tidak, nasi sama sekali tidak ada nasi di rice cooker. Lazimnya kami memang akan bangun pukul tiga pagi, memasak nasi, lalu akan keluar untuk mencari lauk-pauk di warung nasi. Nah, ini hujan dengan kilat perkasa, bila begini, siapa yang akan bertanggung jawab, hehe..

Menunggu. Ini yang akan kami lakukan. Menunggu reda hujan. Saya mendengar ada suara-suara kecil dari kamar teman-teman yang lain. Seolah ada kesepakatan, seluruh kami berkumpul di ruang tamu. Tujuh kamar dengan empat belas penghuni kami di sana. Dengan bantuan cahaya lilin, saya bisa mendapati wajah-wajah kebingungan.

Menunggu akhirnya yang membuat jam dinding berdetak pada jarum pendek empat, saya pikir ini bukan keputusan yang tepat untuk kembali melanjutkan penantian.  Kurang lebih lima puluh menit lagi imsak itu akan tiba. Teman sekamar saya berbisik pada saya bahwa ia mempunyai tiga mie instant dan bisa kami makan berdua. Ceria sedikit wajah saya mendapati berkah itu. Tidak ada nasi tak masalah, yang penting sedikit makanan bisa mengganjal demi puasa seharian besok.

Kami akan masuk ke kamar ketika siluet cahaya lilin menampakkan wajah-wajah bingung teman-teman saya yang lain. Pasti mereka kebingungan akan makan apa untuk sahur. Menurut saya, sungguh tidak bijak jika kami hanya menikmati makan berdua saja, tanpa ingin berbagi dengan yang lain.

Ya benar, kami memang tidak terlalu dekat dengan antar kamar. Hanya beberapa saja di antara kami yang karib. Dengan yang lain, berbicara saja seperlunya saja, jika ingin dikatakan tidak berkomunikasi. Tentu saja kami tidak pernah melakukan buka puasa bareng, sahur bareng, dengan komunikasi yang seperti ini.

“Kami punya tiga mie instant. Ada yang masih punya lagi? Biar kita masak bareng.” Kata saya membuka diam. Di luar hujan bukannya menciut malah semakin brilian memainkan tarian-tarian. Teman-teman saling bersitatapan, seolah sedang berusaha memutuskan sesuatu. Pada akhirnya terkumpul tujuh mie instant. Jumlah yang lumayan bila dikumpulkan dalam satu wadah.

Saya baru merasakan keakraban yang besar malam itu. Satu nasib menderita memberikan celah bagi kami untuk saling dekat-mendekati. Lazimnya saya hanya sangat dekat dengan teman sekamar saya, namun malam ini keakraban merayapi pada setiap kami.

Waktu sudah sangat mendesak. Kami seperti pekerja professional yang mempetak-petakkan pekerjaan. Ada yang menghidupkan kompor,  mencincang bawang, membuka kemasan mie instant,  dan memasak. Jika melihat kekompakan kami sepertinya beginilah kekompakan-kekompakan kami pada hari-hari sebelumnya.

Di luar dugaan, satu teman saya mengeluarkan rice cooker yang berisi nasi. Wuih, itu seperti  harum surga bagi kami. Tidak menunggu titah, lekas saja kami menyerbu makanan langka itu.Dalam situasai normal, nasi itu hanya untuk beberapa perut saja. Tapi jika keadaan seperti ini, tentulah perlu dibagi-bagi sama rata.  Kali pertama kami saling bercanda dan tertawa sambil makan bersama. Dengan mulut penuh makanan, kami saling bersitatapan penuh kata-kata, Ini sahur yang berkesan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline