Lihat ke Halaman Asli

HARUS

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

( catatan peringatan kesaktian pancasila )

Harus.

Saat ini kata harus telah menjadi suatu yang seakan sudah melekat menjadi satu bagian dengan lidah sebagian besar masyarakat di hampir semua lapisannya. Kondisi sosial yang saling mengharuskan ini menjadi kekacauan jaringan kerja sosial. Jika seumpanya di trotoar jalan utama kota besar ada setumpuk kotoran tinja; maka yang terjadi adalah lingkaran komentar dengan kata harus sebagai unsur utamanya. Sementara kotoran tinja terus tergeletak tak berdaya hingga akhirnya lenyap dengan sendirinya karena kering dipanggang panas matahari atau di hanyutkan oleh genangan banjir.

Orang tua mengharuskan anaknya. Anak mengharuskan kedua orang tuanya. Kakak mengharuskan adiknya. Adik mengharuskan kakaknya. Kakek mengharuskan cucunya. Cucu mengharuskan kakeknya. Warga mengharuskan tetangganya tetangga mengharuskan erte dan erte mengharuskan erwe. Lurah mengharuskan erwe dan erwe mengharuskan lurah. Camat diharuskan walikota. Walikota diharuskan gubernur. Gubernur diharuskan DPRD. DPR mengharuskan Presiden dan Presiden diharuskan LSM dan LSM diharuskan donatur. Donatur diharuskan rekeningnya.

Apakah kata harus itu harus disingkirkan agar keharusan ini itu tidak lagi terasa terlalu diharus-haruskan melainkan menjadi satu kesadaran yang dengan sendiri memproduksi keharusan khusus yang internal dan lebih tersembunyi?

Tentu saja tak perlu sampai sepahit itu.

Wabah harus nampaknya bermula dari krisis keadilan sosial. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia nampaknya turut ludes disantap setelah digoreng jadi sajian menu nusantara: Garuda Goreng Kremes.

Jaman harus memang dipenuhi lolongan berebut jadi juara terbanyak. Juara terbanyak makan kerupuk. Terbanyak minum susu. Terbanyak njoged. Segalanya berdesakan untuk menjadi Terbanyak dan Terbesar sambil merayakan Lupa Pada Proses dan Kualitas. Jaman Kuantitas, inilah dia! Korupsi, adalah anak bungsu dari budaya kuantitatif.

Lalu, sekarang apa yang seharuskan dilakukan? --- Bukan seharusnya, tetapi Sebaiknya dan Sebenarnya. Sekarang sebaiknya masing-masing saling mendekat satu sama lain. Agar tidak ada jarak sosial yang terlalu jauh. Sebenarnya jika setiap pribadi masih kluyuran ke sana ke mari, artinya masih ada dalam ruang sosial yang sama. Pun bahkan andaikata ada pribadi yang menyendiri jadi pertapa di hutan lindung, semuanya masih tetap sama dan sebangun dengan yang sibuk berdesakan di KRL.

Kesalahan atau kejahatan budaya politik, ekonomi, pendidikan, seni, bahasa, filsafat, ilmu dan teknologi tak akan pernah bisa diredakan oleh keharusan-keharusan, baik yang bercorak lama atau baru. Karena tak masuk akal memberikan segelas serum bisa ular untuk diminumkan pada korban gigitan ular berbisa, karena meyakini bahwa; lebih banyak pasti lebih baik; lebih besar pasti lebih baik; lebih kecil pasti lebih utama. Nonsens!

Budaya Sedang-Sedang Saja. Pusaka sedang-sedang saja kini dianggap sebagai sesuatu yang kurang progresif, terlalu lembek, tidak out of the box. Tapi ketika semuanya menjadi blingsatan kesurupan out of the box, maka yang tersisa adalah parade tayangan lomba kebodohan. Produk rancangan kecerdasan dan kegigihan dari instink sosial yang hanya memiliki kekuatan keharusan dengan dua pilihan: on atau off.

Haruskah?

ecn@2015.

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline