Lihat ke Halaman Asli

Didi Petet

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14316596971912749888

Didi Petet

Nama aslinya Didi Widiatmoko. Didi Petet aktor besar Indonesia yang hidup di jaman awal ke-emasan dunia hiburan di negerinya, tahun 80an. Tragisnya bersamaan dengan terbitnya jaman keemasan secara bersamaan berangsur-angsur terjadi kemorosotan apresiasi masyarakat pada seni peran.

Didi Petet ibaratnya seorang pendekar sakti yang dipaksa atau terpaksa harus banyak meladeni berbagai permintaa rombongan sirkus keliling, yang memintanya untuk memamerkan kepiawaian melompat-lompat di atas seutas tali dengan mata tertutup. Permintaan semacam itu jauh lebih banyak diterima Didi Petet ketimbang permintaa kebudayaan, yang oleh Jerzy Grotowski di sebut sebagai proyek 'laboratorium manusia'. Pada akhirnya Didi Petet seperti mengikuti nasib seniornya, aktor besar kita Slamet Rahardjo, yang hingga saat ini 'tak berkutik' dan terdampar di pojok stasiun televisi menjadi anggota hiburan sebuah banyolan kronik kota ala 'parikeno'.

Boleh jadi tidak banyak yang mengamati penemuan Didi Petet sebagai seorang aktor. Dengan bekal tubuh dan jiwanya yang lentur, Didi Petet bisa dikatakan aktor yang berhasil menjadi salah satu pelopor seni peran moderen di Indonesia. Keistimewaan pemeranan Didi Petet adalah kemampuannya yang secara kuat mampu membekuk setiap karakter yang dimainkan. Setiap peran oleh Didi Petet 'dikendalikan' dan dijadikan bagian dari diri pribadinya yang asli, bukan sebaliknya. Ibarat seniman musik dalam free jazz, Didi Petet piawai memainkan tema dengan bebas sambil tetap menunaikan tugasnya secara profesional; menjaga konsistensi pada tema pokoknya. Gaya Didi Petet ini sangat mempengaruhi banyak aktor-aktor komedi di tanah air.

Bersama aktor-aktor segenerasinya, Didi Petet berusaha sekuat tenaga mempertahankan, menjaga agar seni peran tidak terjerembab menjadi seni 'mengkonyolkan-diri'. Tak banyak memang yang dapat dibendung, tapi setidaknya perlawanan itu ada.

Seperti halnya sumber alam yang terus digerus dan dikeruk habis-habisan untuk bahan baku pesta orang-orang kota, demikian pulalah yang tejadi pada tubuh dan jiwa manusianya. Tubuh dan jiwa manusia diekspolitasi secara keji dan kejam, menggunakan paradigma sosial yang mengatakan, bahwa jiwa tak ada hak atas tubuh demikian juga sebaliknya. Yang ada adalah satu kebebasan yang dibangun di atas kekuatan, di mana kebenaran keindahan diyakini tak ada kaitan dengan sejarah omong kosong soal etika. Menjadi manusia baru, adalah kembali menjadi binatang secara logis, global dan efisien.

Dalam ranah tradisi, dekadensi ini dapat dilihat pada keberadaan seni topeng di Cirebon saat ini. Panggung Topeng di Cirebon yang semula sering diganggu oleh penonton yang mabuk dan memaksa rombongan topeng agar menampilkan lagu dan tari dangdut, kini justru terbaik. Ada banyak panggung tradisi saat ini yang berlomba-lomba sibuk meleleh-lelehkan ketubuhannya demi meraih pembaharuan terkait dengan perebutan kegaduhan pasar. Hawanya kini menjadi sama sebangun dengan dunia hiburan yang dulu dianggap bisa 'merusak' seni tradisi. Kini mereka sama-sama berusaha membuat penonton mabuk kepayang dan merindukan atraksi pinggul plus dada perempuan. Untungnya komunitas tradisi yang tetap kokoh bekerja dengan harga diri budayanya juga masih tetap ada.

Apa yang dialami oleh aktor Didi Petet dalam perjuangannya mempertahankan konsistensi dalam keriernya, terus-terusan mendapatkan hambatan dan gempuran yang dihadapinya. Ini harus dibaca sebagai hambatan dan gempuran terhadap kemanusiaan. Seni peran semula berfungsi menjaga kebersamaan dan keselarasan sosial, terus menerus hanya dijadikan 'alat plesetan' pengisi waktu senggang sekaligus menghafal berbagai merek dagangan.

Pukul 5 pagi tadi, Didi Petet wafat. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Semoga almarhum khusnulkhatimah. Amiin.

Dengan wafatnya Didi Petet, semoga kesedihan dan kehilangan kita pada almarhum, kiranya menjadi bukti masih banyaknya kita-kita yang mengharapkan perjuangan demi membebaskan tubuh dan jiwa manusia dari dominasi berbagai usaha jahat 'human trafficking'. Budaya yang menganggap manusia bisa ditransfer, dilelang dan bilamana perlu dimusnahkan.

Selamat jalan Kang Didi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline